Senin, 01 Desember 2008

Pencegahan kekeringan dan Kebanjiran di Pulau Jawa

Oleh: Krista Maria
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pulau Jawa luasnya hanya 7% dari seluruh daratan Indonesia namun disesaki oleh 65% penduduk Indonesia. Adanya tekanan populasi yang demikian tinggi terhadap lahan mendesak petani untuk menggarap juga lahan marjinal, antara lain tanah yang miring di tepi sungai, lereng di bukit dan gunung yang curam serta menyerobot lahan kehutanan, sehingga luas hutan terus menurun. Kepadatan penduduk di perkotaan berdampak pada dibangunnya pemukiman dan industri di tempat-tempat yang tidak diperuntukkan untuk perumahan dan industri, seperti di lahan pertanian, bantaran kali dan jalur hijau. Perubahan fisik bantaran sungai di daerah perkotaan mengakibatkan penurunan fungsi jasa hidrologis vegetasi bantaran sungai. Padahal bantaran sungai atau riparian berfungsi sebagai penyaring materi tanah dan air, penahan kecepatan angin, penyerap polutan, dan pengendali iklim mikro.
Perusakan lingkungan di Indonesia terus menunjukkan dampaknya. Setiap tahun, jumlah DAS kritis terus bertambah. Tahun 1980-an hanya ada 22 DAS yang kondisinya kritis, tahun 1990-an meningkat menjadi 36 DAS. Memasuki tahun 2000-an 69 DAS yang rusak, paling banyak di Jawa Tengah (Jateng), Jawa Barat, dan Jawa Timur. Data terbaru Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan, puluhan daerah aliran sungai atau DAS masuk kategori kritis. Sebanyak 60 DAS di seluruh Indonesia masuk katergori super prioritas. Beberapa DAS kritis yang harus diprioritaskan diantaranya beberapa DAS di Jawa, seperti Citarum, Ciliwung, Cisadane, Bengawan Solo, Brantas, dan Kali Progo, selanjutnya DAS Siak dan Way Sekampung di Sumatera, serta DAS Barito di Kalimantan.[1]
Hal tersebut menunjukkan kondisi ke-60 DAS tersebut amat memperihatinkan. Beberapa parameter daerah aliran sungai tersebut berarti di bawah standar, seperti tutupan lahan di sekitar DAS, sedimentasi, kualitas, kuantitas, dan kontuinitas air sepanjang tahunnya.
Kondisi hutan di Pulau Jawa tinggal 4% dari luas pulau Jawa (13.404.500 hektar) sudah sangat jauh di bawah tingkat 30% yang dikatakan sebagai titik keamanan minimum yang harus dipertahankan untuk melestarikan sumber-sumber air dan mencegah erosi. Akibat rusaknya hutan, kemampuan retensi DAS (kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu) menurun. Seluruh air hujan akan dilepaskan DAS ke arah hilir. Selain itu, DAS mudah tererosi oleh air hujan yang mengakibatkan tingkat sedimentasi di DAS sangat tinggi. Sebagai contoh, misalnya DAS Merawu yang luasnya sekitar 678,6 km², tingkat sedimentasinya 2,74 juta kubik per tahun. Tingkat sedimentasi yang tinggi di Merawu dan Serayu dinilai menjadi penyebab utama pendangkalan Waduk Mrica sehingga daya tampung air berkurang dari 143,7 juta m³ menjadi 99,84 juta m³.[2]
Pendangkalan sungai juga dapat diakibatkan oleh akumulasi endapan sampah yang dibuang masyarakat ke sungai. Sampah domestik yang dibuang oleh warga masyarakat terutama di kota-kota besar berakibat terjadinya pendangkalan dan penutupan alur sungai sehingga aliran air tertahan dan mengakibatkan meluapnya air sungai. Berbagai penelitian sungai di Indonesia mencatat bahwa setiap sungai yang melintasi kawasan pemukiman disamping kualitasnya sangat buruk juga kandungan sampahnya tinggi.[3]
Data Pemerintah Daerah Jawa Barat menunjukkan sekitar 11 juta penduduk hidup dan tinggal di sekitar DAS, dengan total lebih dari 1.000 perusahaan beroperasi di sekitarnya. Banyak lahan pertanian berubah menjadi perumahan dan industri yang berkontribusi dalam pengurangan air di daerah tangkapan air.[4]
Kerusakan lingkungan berupa alih fungsi lahan, degradasi dan deforestasi,serta pencemaran pada daerah aliran sungai (DAS) berakibat pada menurunnya kondisi DAS. Hancurnya daya dukung DAS merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan banjir. Faktor penyebab kekeringan sama persis seperti faktor penyebab banjir, Keduanya berperilaku linier-dependent, artinya semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir mendorong terjadinya banjir. Dengan demikian maka rehabilitasi DAS akan berdampak menanggulangi kekeringan dan banjir.

B. Tujuan
Rehabilitasisi daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa bertujuan mengembalikan fungsi DAS sebagaimana seharusnya secara alami sehingga dapat mengatasi kekeringan dan banjir.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber air di bumi
Jumlah air di bumi sebanyak 1,40 juta km3, yang terdiri dari 97,50% berupa air laut, 1,75% berbentuk es, 0,73% berupa air tawar (didaratan:sungai, danau dan air tanah), serta 0,001% dalam bentuk uap air di udara. Sumber utama air tawar di bumi adalah air hujan melalui daur hidrologi (Gambar 1). Proses utama hidrologi meliputi evaporasi/transpirasi (evapotranspirasi), presipitasi, infiltrasi/perkolasi dan aliran permukaan. Air menguap dari permukaan air (sungai/danau/laut) atau dari daratan, atau dari transpirasi dari tumbuhan lalu menjadi awan. Awan terkondensasi dan jatuh sebagai air hujan (presipitasi). Curah hujan yang jatuh sebagian tertahan tajuk tanaman, menguap langsung, atau jatuh ke permukaan tanah, dimana sebagian air terinfiltrasi masuk ke dalam tanah. Sebagian curah hujan akan mengalir di permukaan tanah sebagai aliran permukaan (surface runoff) menuju badan ai

B. Sumber air di Indonesia
Luas wilayah Indonesia adalah 7,50 juta km, dengan komposisi 75,3% lautan dan 24,7% daratan (1,92 juta km). Karena terletak di wilayah tropis, jumlah air hujan dalam setahun terdistribusi 80% berasal dari curah hujan di musim penghujan, dan 20% dari curah hujan di musim kemarau.
Berdasarkan siklus hidrologi, secara umum dapat dikatakan bahwa untuk mencegah kekeringan dan banjir dapat dilakukan dengan menahan air selama mungkin di daratan atau memperbanyak kemungkinan air hujan dapat meresap secara alamiah ke dalam tanah dan dan mengurangi kecepatan aliran air permukaan (runoff).
Tindakan yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan retensi DAS agar air hujan dapat dengan baik diresapkan (retensi) di DAS dan secara perlahan-lahan dialirkan ke sungai. Manfaat langsung peningkatan retensi DAS lainnya adalah bahwa konservasi air di DAS terjaga, muka air tanah stabil, sumber air terpelihara, kebutuhan air untuk tanaman terjamin dan fluktuasi debit sungai dapat stabil. Retensi DAS dapat ditingkatkan dengan cara: program penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan, pedesaan atau kawasan lain, mengaktifkan reservoir-reservoir alamiah, pembuatan resapan-resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau menghindari sejauh mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat berakibat sulitnya air hujan meresap ke tanah.
C. Rehabilitasi DAS di Pulau Jawa.
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisah topografis berupa punggung bukit yang menerima air hujan dan mengalirkannya ke hilir dan bermuara ke laut.
Kondisi DAS di Pulau Jawa telah mengalami kerusakan akibat alih fungsi lahan, degradasi, deforestasi dan pencemaran. Perbaikan kondisi/merehabilitasi DAS dilakukan melalui program penanggulangan masalah-masalah berupa:
1. Alih fungsi lahan
Tindakan yang dapat dilakukan yaitu mencegah dan meminimalisir alih fungsi lahan berupa berubahnya daerah pertanian menjadi pemukiman dan industri . Begitu pula alih fungsi daerah bantaran sungai yang menjadi pemukiman. Untuk itu dibutuhkan tindakan tegas pemerintah pusat dan daerah dalam menegakkan peraturan tentang tata guna lahan. Masyarakat perlu diberi sosialisasi tentang peraturan tata guna lahan dan fungsi bantaran kali sebagai daerah penyangga ekosistem sungai.
2. Degradasi dan deforestasi
Fungsi hutan dalam siklus hidrologis terutama sebagai penyerap air dan mencegah erosi. Dengan demikian hutan akan berfungsi sebagai sumber air.
Kondisi hutan di Jawa tinggal 4% dari luas pulau Jawa sudah sangat jauh di bawah tingkat 30% yang dikatakan sebagai titik keamanan minimum yang harus dipertahankan untuk melestarikan sumber-sumber air dan mencegah erosi. Untuk itu dibutuhkan tindakan penghijauan/reboisasi hingga luasnya mencapai minimal 30% dari luas pulau Jawa. Harus dihindari mengubah hutan alam menjadi hutan monokultur, misalnya hutan pinus untuk kemudian ditebang di daerah lereng.
Selama ini pengelolaan yang dilakukan Perhutani berorientasi pada kayu, tanpa memperhitungkan ekosistem lingkungan. Padahal, nilai kayu hanya mencapai 7 persen dari nilai total ekosistem hutan. Mengabaikan nilai ekosistem yang besar dari sebuah kawasan hutan mengakibatkan terjadinya krisis ekologi.[6]
Pengelolaan DAS telah dilakukan oleh beberapa instansi yang bertanggung jawab seperti Perum Perhutani, Balai Taman Nasional, Dinas Kehutanan Propinsi/Kabupaten/Kota namun masing-masing instansi mempunyai program sendiri-sendiri. Dalam melakukan pengelolaan DAS perlu dilakukan koordinasi antar instansi yang memiliki kawasan pada DAS tersebut agar pelaksanaan program berjalan selaras dengan instansi lainnya, sehingga program berjalan efektif dan efisien.
Program kerjasama swasta- publik perlu dilakukan untuk menanggulangi pendanaan dalam program pengelolaan DAS. Seperti yang dilakukan di Malang, Jawa Timur dalam program pengembangan masyarakat di DAS Brantas. Program kerjasama ini sudah mengadakan sejumlah kegiatan yang diikuti oleh penduduk dua desa. Kegiatan Sekolah Lapangan adalah salah satu di antaranya. Di Tulungrejo, Sekolah Lapangan sudah menghasilkan dua rencana kerja yaitu kegiatan menanam dan pemeliharaan pohon di bantaran Sungai Brantas dan Ndomyong. Di Pandansari Lor, Sekolah Lapangan berfokus pada kegiatan pengelolaan DAS skala mikro termasuk memilih jenis tanaman yang tepat untuk ditanam di bantaran sungai. Penentuan lokasi desa penerima bantuan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi Geographic Information System (GIS) yang mampu mengidentifikasi tingkat kepentingan dan potensi suatu area tanam. Melalui kegiatan ini masyarakat diharapkan memiliki rasa memiliki terhadap tanaman yang sudah ditanam dan giat melakukan perawatan.[7]
Propinsi Jawa Barat melakukan gerakan rehabilitasi lahan kritis yang serentak dilaksanakan di Kota dan Kabupaten se Jawa Barat. Rehabilitasi lahan kritis di Jawa Barat secara menyeluruh difokuskan pada Daerah Aliran Sungai dengan prioritas kawasan rawan bencana seperti banjir, longsor, dan kekeringan.[8]
3. Pencemaran
Mencegah pencemaran sungai dilakukan dengan mencegah pembuangan limbah domestik, pertanian, kehutanan dan industri ke dalam sungai. Pengelolaan DAS yang bersih dari limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dimulai dengan dilancarkannya Gerakan Ciliwung Bersih (GCB) pada 1Juni 1989. GCB dimaksudkan sebagai pusat dan sarana untuk mengkoordinasi gerakan masyarakat tentang kebersihan yang dimulai dari kebersihan sungai. Program lanjutan berikutnya adalah Program Kali Bersih (PROKASIH). Sasaran PROKASIH di delapan provinsi terdiri atas 20 sungai yang diperluas dengan 35 sungai pada tahun 1991. Pada tahun 1995 program ini disebut sebagai Program Proper Prokasih.[9] Pada pelaksanaan tahun 2001 dilakukan inventarisasi seluruh kegiatan yang berpotensi memberikan dampak terhadap air sungai untuk dicarikan solusi pemecahannya. Kegiatan tidak hanya difokuskan kepada sumber pencemar dari satu titik saja seperti biasa dilakukan Prokasih sebelumnya yaitu yang berasal dari kegiatan industri, tetapi juga dari sumber-sumber pencemar lainnya seperti kegiatan domestik, pertanian, kehutanan dan sebagainya.[10]
4. Pendidikan lingkungan, Pengawasan dan Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan hidup.
Agar pengelolaan DAS berhasil baik maka masyarakat harus memahami dan menyadari tentang keterkaitan DAS bagian hulu dan hilir, wilayah air dan ekologi, keterkaitan antara pembuangan limbah dan penurunan kualitas air sungai, keterkaitan banjir dan kekeringan, keterkaitan antara sampah-pendangkalan dan banjir, keterkaitan antara pengambilan air tanah besar-besaran dengan kekeringan dan intrusi air laut, keterkaitan antara penebangan pohon/hutan dengan banjir, longsor dan kekeringan; keterkaitan antara ekosistem sungai dengan kekeringan, banjir dan penurunan kualitas air, serta bagaimana dan dengan cara apa seharusnya mereka berperilaku terhadap air yang ada. Peningkatan pemahaman dilakukan melalui proses pembelajaran sosial yang intensif dan terus-menerus. [11]
Pemerintah telah menerbitkan satu peraturan tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup berupa Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 yang disempurnakan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997. Kesulitan dalam penerapan undang-undang tersebut terjadi karena tingkat kesadaran masyarakat terhadap undang-undang rendah, peraturan belum lengkap, tingkat kemampuan pelaksana undang-undang yang rendah, dan kecilnya anggaran biaya. Untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup diperlukan berbagai ancaman undang-undang yang ditetapkan secara adil. Terhadap pelanggar undang-undang dikenakan membayar ganti rugi, membayar biaya pemulihan, denda, dan ancaman hukuman penjara.[12]

KESIMPULAN

· Kondisi daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa sudah dalam taraf kritis akibat ulah manusia dalam bentuk alih fungsi lahan, degradasi dan deforestasi serta pencemaran oleh limbah industri, domestik, pertanian dan kehutanan.
· Hancurnya daya dukung DAS merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan banjir.
· Rehabilitasi DAS atau meningkatkan retensi DAS dilaksanakan dengan pengelolaan daerah hulu hingga hilir secara terintegrasi, holistik dan berkesinambungan.
· Retensi DAS dapat ditingkatkan dengan cara: program penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan, pedesaan atau kawasan lain, mengaktifkan resrvoir-reservoir alamiah, pembuatan resapan-resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau menghindari sejauh mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat berakibat sulitnya air hujan meresap ke tanah.
· Keberhasilan pengelolaan DAS membutuhkan peningkatan kesadaran masyarakat secara masal terhadap pentingnya DAS melalui proses pembelajaran sosial yang intensif dan terus-menerus dan penegakan hukum pada pengawasan dan pelaksanaan undang-undang lingkungan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Anom, http://timpakul.hijaubiru.org/jawa.html

Anom, http://www.iwr.msu.edu/edmodule/water/cycle.htm

Anom,http://www.kotabogor.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2610&Itemid=648

Anom. Kondisi DAS di Jawa Kritis, Tahun 2010 Krisis Air . 2003.

Anom. Prokasih 2001 sebagai awal prokasih 2005. http://www.bplhdjabar.go.id/emplibrary/Prokasih_2001_awal_%20prokasih_%202005.doc

Anom. WWF Indonesia. http://www.satudunia.net/node/1849

Djanius, Djamin. Pengawasan &Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup: Suatu Analisis Sosial. Jakarta: Yayasan Obor. 2007.

Irianto, Gatot . Kumpulan Pemikiran: Banjir dan Kekeringan – Penyebab , Antisipasi dan solusinya. Bogor: Universal Pustaka Media, 2003.

Maryono, Agus. Menangani banjir, kekeringan dan lingkungan. Yogyakarta: Gajah mada University Press. 2005

Nugroho, Sutopo Purwo, Menguak Kerusakan DAS di Indonesia.

Prabowo, Bintoro W. ESP JAWA TIMUR, http://www.esp.or.id/2008/04/08/menghadang-%20%20%20%20kerusakan-lingkungan-dengan-kerjasama-swasta-publik/

Soerjani, Mohamad. Arif Yuwono dan Dedi Fardiaz. Lingkungan Hidup: Pendidikan Pengelolaan Lingkungan dan Kelangsungan Pembangunan. Jakarta: Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan. 2006.

[1] Anon, 60 DAS di Indonesia Minta Prioritas Penanganan, http://www2.kompas.com/ver1/Iptek/0709/25/082045.htm
[2] Anom, Kondisi DAS di Jawa Kritis, Tahun 2010 Krisis Air ,4- 2003 http://www.inawater.com/news/wmprint.php?ArtID=511

[3] Gatot Irianto, Kumpulan Pemikiran: Banjir dan Kekeringan – Penyebab , Antisipasi dan solusinya (Bogor: Universal Pustaka Media, 2003), p. 9.


[4] Anom, WWF Indonesia, http://www.satudunia.net/node/1849


[5] Anom, http://www.iwr.msu.edu/edmodule/water/cycle.htm

[6] Anom, http://timpakul.hijaubiru.org/jawa.html

[7] Bintoro W. Prabowo, ESP JAWA TIMUR, http://www.esp.or.id/2008/04/08/menghadang-%20%20%20%20kerusakan-lingkungan-dengan-kerjasama-swasta-publik/
[8] Anom, http://www.kotabogor.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2610&Itemid=648

[9] Mohamad Soerjani, Arif Yuwono dan Dedi Fardiaz. Lingkungan Hidup: Pendidikan , Pengelolaan Lingkungan dan Kelangsungan Pembangunan (Jakarta: Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan, 2006), p.199.

[10] Anom, Prokasih 2001 sebagai awal prokasih 2005, http://www.bplhdjabar.go.id/emplibrary/Prokasih_2001_awal_%20prokasih_%202005.doc

[11] Maryono, op. cit,. p 143.
[12] Djanius Djamin, Pengawasan &Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup: Suatu Analisis Sosial (Jakarta: Yayasan Obor, 2007), p.281.

Pencegahan bullying di sekolah

PENERAPAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN PADA PENCEGAHAN BULLYING DI SEKOLAH

Oleh: Krista Maria

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tewasnya Cliff Muntu, 21, praja tingkat II Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat (Jabar), menambah jumlah calon pamong yang mati tidak wajar. Hingga 2007, mahasiswa IPDN yang tewas akibat penganiayaan berjumlah 38 orang. Dari jumlah itu seorang diantaranya wanita. Namun, pihak IPDN, sebelumnya bernama Sekolah Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), hanya mempublikasikan sebanyak 10 kasus (Media Indonesia, 2007)
Tewasnya beberapa mahasiswa IPDN tersebut dapat dikatakan merupakan puncak gunung es dari berbagai tindak kekersan/bullying yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini terlihat dari makin maraknya berbagai tindak kekerasan oleh pelajar yang terungkap di media masa belakangan ini.
Bullying dalam dunia pendidikan yang sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan itu membuat kita berefleksi tentang kondisi pendidikan kita selama ini. Dibutuhkan analisis terhadap kondisi pendidikan kita selama ini baik tentang kondisi fisik maupun kondisi sosial di sekolah-sekolah untuk mencari tahu penyebabnya.
Para pelajar yang melakukan bullying dapat dipandang sebagai tersangka sekaligus korban. Korban atas berbagai kondisi di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang buruk.
Kondisi lingkungan yang buruk, membuat pelajar merasa tertekan/stress. Disamping itu kebutuhan-kebutuhan khusus yang dialami remaja berkenan dengan perkembangan psikologinya tampaknya belum mendapat perhatian yang cukup baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Dari penelitian yang dilakukan Ratna Juwita (psikolog Universitas Indonesia) di SD, SMP dan SMA di tiga kota besar di Indonesia, sekolah dengan tingkat bullying yang terendah menunjukkan ada kaitan erat antara guru dengan siswanya serta kondisi lingkungan sekolahnya. Tingkat bullying terendah terdapat pada sekolah yang hubungan antara guru dan siswanya sangat baik, sekolahnya kecil dan nyaman, dalam arti hijau, dan anak-anak bebas bermain-main (Kompas Cyber, 2008).

1.2 Permasalahan
Kondisi sekolah-sekolah di Indonesia umumnya berupa kelas-kelas dengan jumlah siswa yang besar dengan halaman sekolah yang sempit, gersang dan tata ruang yang tidak memadai. Tidak jarang pula di jumpai letak sekolah yang bersebelahan dengan pusat keramaian seperti di sebelah terminal, tempat perbelanjaan.dan pinggir jalan yang padat lalu lintas.
Pendidikan di sekolah-sekolah umumnya menitikberatkan pada kecerdasan intelektual dan sistem peringkat. Sistem semacam ini mengajarkan nilai-nilai survival of the fittest, siapa yang kuat dialah yang menang, dan menganggap teman sebagai saingan/musuh (Lie, Anita., 2005).
Kondisi fisik dan sosial sekolah seperti tersebut di atas belum dipahami oleh sebagian praktisi pendidikan sebagai hal yang mempunyai keterkaitan dengan perilaku siswa terutama dalam konteks perilaku bullying. Hal ini terlihat dari tidak adanya perubahan yang dilakukan terhadap kondisi tersebut. Bahkan kecenderungannya makin kian parah, seperti misalnya pendirian sekolah di ruko-ruko atau rumah tinggal demi perhitungan ekonomi/bisnis semata.
1.3 Tujuan
Penerapan psikologi lingkungan dalam kasus bullying di sekolah diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pencegahan tindakan bullying.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Komisi Nasional Perlindungan Anak memberi definisi/pengertian terhadap bullying adalah : kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma / depresi dan tidak berdaya.
Bullying terbagi menjadi 3 bentuk, yaitu:
· fisik (memukul, menampar, memalak atau meminta paksa yang bukan miliknya, pengeroyokan menjadi eksekutor perintah senior);
· verbal (memaki, mengejek, menggosip, membodohkan dan mengkerdilkan);
· psikologis (mengintimdasi, mengecilkan, mengabaikan, mendiskriminasikan).
Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, faktor penyebab bullying antara lain:
· Perilaku feodal (pemaknaan senior / yunior).
· Pubertas pada masa remaja (pencarian jati diri)
· Krisis identitas
· Kekerasan dalam rumah tangga dan sekolah
· Pengawasan perilaku anak yang kurang dari orang tua dan sekolah
· Imitasi dari tontonan media yang mengandung unsur kekerasan, seksualitas/pornografi
· Fanatisme yang berlebihan
· Pendisiplinan dengan kekerasan ( di rumah dan sekolah).
Bullying berdampak menurunkan tes kecerdasan dan kemampuan analisis siswa yang menjadi korban, bahkan sampai berusaha bunuh diri. Bullying juga berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai - nilai akademik dan tindakan bunuh diri.(news. Indosiar ,com)
Menurut Paul A. Bell dan kawan –kawan dalam Sarwono (1995), Psikologi lingkungan adalah ilmu tentang saling hubungan antara tingkah laku dengan lingkungan buatan maupun alamiah.
Definisi yang hampir mirip dkemukakan olah Holahan dalam Sarwono (1995), yaitu Psikologi lingkungan adalah bidang psikologi yang meneliti khusus saling-hubungan antara lingkungan fisik dengan tingkah laku dan pengalaman manusia.
Holahan dalam Hadinugroho (2002) menyatakan bahwa terjadinya proses psikologi manusia yang berhubungan dalam rangka mengatasi atau beradaptasi dengan lingkungan fisik dipengaruhi tiga hal yaitu :
1. Environmental Perception, yaitu proses memahami linkungan fisik melalui input indrawi dari stimuli yang baru saja hadir atau terjadi
2. Envorinmental Cognition, yaitu proses menyimpan , mengorganisasikan mengkonstruksi dan memanggil kembali imaji, ciri-ciri, atau kondisi lingkungan yang sudah ada / terjadi beberapa saat yang lalu.
3. Environmental Attitudes, yaitu rasa suka atau tidak suka terhadap sifat atau ciri, kondisi lingkungan fisiknya.
Ciri-ciri psikologi lingkungan
1. Dalam penelitian psikologi lingkungan, hubungan tingkah laku dan lingkungan adalah satu unit yang dipelajari dalam keadaan saling terkait, tidak berdiri sendiri. Cara pendekatan ini dinamakan cara pendekatan holistic atau disebut juga pendekatan eklektik.
2. Hubungan antara lingkungan dengan manusia dan tingkah lakunya adalah hubungan timbal balik. Jadi saling terkait, saling mempengaruhi.
3. Dalam penelitian-penelitiannya, psikologi lingkungantidak memusatkan perhatian hanya pada masalah teoritis maupun masalah terapan , tetapi titik beratnya selalu pada kedua-duanya.
4. Interdisipliner. Karena ruang lingkup psikologi lingkungan bermacam-macam, dalam penelitiannya ia harus bekerja sama juga dengan bermacam-macam ilmu terkait.
Aliran –aliran dalam psikologi lingkungan
1. Determinisme
Aliran ini berpendapat bahwa setiap perbedaan pada rangsang (stimulus/S) tentu akan mengakibatkan perbedaan pada tingkah laku (respon/R) yang ditimbulkannya.
2. Interaksionisme
Aliran ini berpendapat bahwa setiap perbedaan rangsang (stimulus/S) tentu akan mengakibatkan perbedaan pada tingkah laku (respon/R) yang dipengaruhi oleh faktor organisme (O/organisme). Dalam faktor O itulah terletak proses kognisi seperti motivasi, sikap, minat, emosi dan ratio.
3. Transaksionisme
Menurut transaksionisme, yang penting bukanlah tingkah laku secara umum, melainkan tindakan (action) khusus pada tempat dan waktu yang khusus pula. Tindakan itu berhubungan erat dengan wujud-wujud atau bentuk-bentuk yang ada di lingkungan dan dengan makna yang diberikan oleh orang yang bersangkutan terhadap wujud dan bentuk itu. Makna itu sendiri bergantung pada tujuan orang tersebut.
Teori-teori yang dapat digunakan untuk mencari jawaban terhadap sebagian permasalahan yang timbul dalam psikologi lingkungan antara lain yaitu:
· teori beban lingkungan (The Environment Load Theory),
· teori hambatan perilaku (Behaviour constraints theory),
· teori level adaptasi (Adaptation Level Theory),
· teori stress lingkungan (Environmental Stress Theory),

2.1 Pemecahaan Masalah
Perilaku bullying jika di tinjau dari psikologi lingkungan, merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Perilaku manusia terbentuk selain oleh faktor internal juga dipengaruhi oleh faktor eksternal/lingkungan. Artinya manusia dapat mempengaruhi lingkungan dan lingkungan dapat mempengaruhi manusia (ecological interdepencies). Hal ini tergambar pada teori Medan oleh Kurt Lewin dalam Helmi (1999) dengan formula B= f (E,O). Perilaku/Behaviour (B) merupakan fungsi (f) dari Lingkungan/Environment (E) dan Individu/Organisme (O).
Jika di tinjau dari lingkungannya, yang di persempit menjadi faktor lingkungan sekolah saja, maka kita melihat bahwa kondisi lingkungan sekolah yang dapat mempengaruhi terjadinya bullying dapat berupa lingkungan fisik sekolah dan lingkungan sosial/ psikis sekolah.
Lingkungan fisik sekolah, antara lain berupa:
· Jumlah siswa
· Tata ruang
· Suhu udara
· Pencahayaan
· Kebisingan
· Warna tembok
· Kualitas lingkungan/tingkat polusi
Lingkungan sosial sekolah, antara lain berupa:
· Budaya sekolah
· Interaksi antar siswa
· Interaksi guru-siswa

Teori beban lingkungan (The Environment Load Theory )
Premis dasar teori ini adalah manusia mempunyai kapasitas terbatas dalam pemrosesan informasi. Menurut Cohen, ada 4 asumsi dasar teori ini, yaitu:
Manusia mempunyai kapasitas terbatas dalam pemrosesan informasi.
Ketika stimulus lingkungan melebihi kapasitas pemrosesan informasi, proses perhatian tidak akan dilakukan secara optimal.
Ketika stimulus sedang berlangsung, dibutuhkan proses adaptif. Artinya signifikasi stimulus akan dievaluasi melalui proses pemantauan, dan keputusan dibuat atas dasar respon pengatasan masalah. Jika stimulus merupakan stimulus yang dapat diprediksi dan dapat dikontrol, stimulus tersebut makin mempunyai makna untuk diproses lebih lanjut. Tetapi jika stimulus yang masuk merupakan stimulus yang tidak dapat diprediksi atau dikontrol, perhatian kecil atau mungkin pengabaian perhatian akan dilakukan. Akibatnya, pemrosesan informasi tidak akan berlangsung.
Jumlah perhatian yang diberikan seseorang tidak konstan sepanjang waktu tapi sesuai kebutuhan.
Jika stimulus terlalu sedikit (understimulation), maka siswa akan mengalami devripasi sensori. Devripasi sensori ini menghambat perkembangan secara optimal. Hal ini tampak sekali dalam perkembangan siswa, jika kurang mendapatkan stimulasi maka perkembangan psikologisnya akan terhambat.
Jika stimulus berupa suasana dan proses belajar bersifat monoton, materi belajar terlalu sedikit dan kurang menarik maka siswa akan merasa bosan. Sebaliknya jika stimulus lingkungan lebih besar dari kapasitas pengolahan informasi, misalnya suasana kelas ribut/bising akan mengganggu komunikasi dalam kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Cohen dan Weinstein dalam Russel dan Daniel (1995), bahwa kebisingan mempengaruhi komunikasi dalam kelas dalam bentuk kegagalan siswa memahami instruksi sehingga mempengaruhi pretasinya.
Terlalu banyak tugas yang diberikan guru, materi pelajaran terlalu sulit juga akan membuat siswa merasa tertekan, bosan dan tidak berdaya. Adanya perasaan bosan, tertekan dan lain sebagainya akan mendorong siswa melakukan tindakan-tindakan yang merugikan , misalnya mengganggu teman yang berujung pada bullying
Dari pernyataan teori di atas, maka penciptaan suasana belajar dan proses belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan sesuai dengan kondisi tumbuh kembang siswa merupakan suatu hal penting. Hal ini dapat disiasati antara lain, dengan model belajar yang bervariasi. Adanya pergantian suasana kelas, akan membuat suasana belajar tidak monoton dan dapat meningkatkan motivasi dan kemampuan belajar siswa.

Teori hambatan perilaku (Behaviour constraints theory)
Premis dasar teori ini adalah stimulus yang berlebihan atau tidak diinginkan, mendorong terjadinya hambatan dalam kapasitas pemrosesan informasi. Akibatnya, orang merasa kehilangan kontrol pada situasi yang sedang berlangsung. Perasaan kehilangan kontrol merupakan langkah awal dari teori kendala prilaku.
Istilah “hambatan” berarti ada “sesuatu” dari lingkungan yang membatasi apa yang menjadi harapan. Hambatan dapat muncul, baik secara aktual dari lingkungan ataupun interpretasi kognitif.
Menurut Averill dalam Helmi (1999), terdapat beberapa tipe kontrol terhadap lingkungan, yaitu kontrol perilaku, kontrol kognitif dan kontrol lingkungan.
Kontrol lingkungan mengarahkan perilaku untuk mengubah lingkungan, misalnya pada lingkungan sekolah yang bising dengan mengurangi suasana bising di kelas /sekolah, membuat pagar hidup untuk membuat suasana kelas/sekolah bernuansa ramah lingkungan. Adanya suasana yang nyaman tentu membangkitkan motivasi belajar dan kreativitas siswa dan menghindarkan siswa dari perbuatan agresiv.
Kontrol kognitif dilakukan dengan mengubah interpretasi situasi yang mengancam menjadi situasi yang menantang. Guru ditantang bagaimana mengubah interpretasi siswa dalam menghadapi suasana kelas yang tidak nyaman itu menjadi tantangan bagi siswa untuk lebih termotivasi belajar. Guru menanamkan pemahaman akan tugas siswa sebagai pelajar adalah belajar sungguh-sungguh bukan menjadi preman di sekolah.
Kontrol keputusan dilakukan dengan memberikan alternative pilihan yang ditawarkan. Dengan semakin besar kontrol yang diberikan akan lebih memudahkan proses adaptasi siswa.Misalnya siswa diberi alternativ pilihan untuk belajar dengan model pembelajaran yang mereka sukai, dengan tata kelas yang mereka atur sendiri dibawah bimbingan guru, dan sebagainya.
Teori stress lingkungan (Environment Stress Theory)
Teori stress lingkungan pada dasarnya merupakan penerapan teori stress dalam lingkungan. Berdasarkan model input – process - output, maka ada 3 pendekatan dalam stress yaitu stress sebagai input, stress sebagai process dan stress sebagai output. Oleh karenanya stress terdiri dari 3 komponen, yaitu stressor, process dan output. Stressor merupakan stimulus yang mengancam kesejahteraan seseorang, misalnya kepadatan tinggi, bising, polusi, panas, dan lain sebagainya. Respon stress adalah reaksi yang melibatkan komponen emosional, pikiran, fisiologis dan perilaku. Proses adalah transaksi antara sumber stress dengan kapasitas diri untuk menentukan reaksi stress. Jika sumber stress lebih besar dari kapasitas diri maka terjadi stress negatip, sebaliknya jika tekanan/stress lebih kecil atau sama dengan kapasitas diri maka terjadi stress positip. Dalam kaitannya dengan stress lingkungan, maka terjadi transaksi antara karakteristik lingkungan dengan karakteristik individu yang menentukan apakah tekanan tersebut menimbulkan stress atau tidak.
Suara bising, bagi kebanyakan siswa akan mengurangi motivasi belajar tapi bagi siswa yang biasa tinggal di daerah pinggiran jalur kereta api yang padat.tidak menurunkan motivasi belajar.Jumlah murid yang besar di dalam kelas yang sempit dan tidak tertata baik dapat menimbulkan kesesakan, suhu udara menjadi lebih panas, dan bising. Hal ini menimbulkan perasaan tidak nyaman. Ketidak adanya kenyamanan dalam kelas/sekolah membuat siswa kehilangan motivasi belajar dan kreativitas sekaligus juga meningkatkan agresivitas. Kelas-kelas di sekolah dengan jumlah murid yang besar berpotensi menumbuhkan suasana bullying dibanding sekolah dengan jumlah murid terbatas.Untuk menghindari bullying antara lain adalah:· mempertimbangkan rasio ideal antara jumlah murid dan guru. Ini agar guru dan murid bisa saling mengidentifikasi diri dan pihak sekolah bisa mengawasi tingkah laku setiap murid. · membuat halaman kelas yang teduh oleh pepohonan yang rindang agar suhu udara di sekolah terasa nyaman. · mengurangi kebisingan di kelas dan lingkungan sekolah dengan cara pendisiplinan dan membuat tulisan/poster berisi ajakan untuk menghormati teman yang sedang belajar, membuat pagar hidup dari pepohonan bambu di sekeliling pagar sekolah yang dapat meredam suara dari luar lingkungan sekolah, dan lain sebagainya.· Memberikan ruang bermain yang memadai untuk siswa saat jam istirahat sekolah.· Meningkatkan keakraban antar siswa dan siswa dengan guru, dengan berbagai kegiatan keakraban. Hubungan yang harmonis akan membuat warga sekolah merasa aman dan nyaman di sekolah.
Teori level adaptasi (Adaptation Level Theory)
Teori ini pada dasarnya sama dengan teori beban lingkungan. Menurut teori ini, stimulasi level yang rendah maupun yang tinggi memberikan pengaruh negativ pada perilaku.
Adaptasi dilakukan ketika terjadi suatu disonansi pada suatu sistem, artinya terjadi ketidak seimbangan antara interaksi manusia dengan lingkungan, tuntutan lingkungan yang berlebih atau kebutuhan yang tidak sesuai dengan situasi lingkungan.
Tradisi menjelang ajaran baru di sekolah-sekolah adalah menyelenggarakan MOS (masa orientasi siswa) bagi siswa barunya. Siswa baru dituntut dapat menyesuaikan diri dengan sekolah barunya, dengan cara mentaati peraturan dan budaya kelas/sekolah. Pada saat MOS sering kali praktik-praktik kekerasan dan bullying dialami siswa baru yang dilakukan oleh kakak kelasnya. Hal tersebut dapat menjadi benih-benih dendam di antara junior dan seniornya, sehingga akan berujung pada tindakan kekerasan. Adanya peraturan dan budaya sekolah yang mengutamakan kasih sayang, mencintai sesamanya dan seluruh peri kehidupan serta pemberian teladan oleh para guru tentunya akan memudahkan siswa untuk beradaptasi sesuai tuntutan tersebut. Sebaliknya peraturan dan budaya sekolah yang mengutamakan kedisiplinan dengan kekerasan akan membuat siswa stress dan lebih sulit beradaptasi.

BAB III
KESIMPULAN

Hubungan manusia dengan lingkungan adalah hubungan yang dinamis. Perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh lingkungan atau sebaliknya, melainkan kedua hal ini salingmempengaruhi dan tak dapat dipisahkan (ecological interdependencies). Begitu pula hubungan prilaku bullying dengan lingkungan sekolah.
Untuk dapat lebih memahami prilaku bullying dalam konteks lingkungan sekolah tidak cukup dengan teori- teori psikologi lingkungan saja tetapi juga teori-teori dari disiplin pendidikan, arsitektur, kesehatan, lingkungan dan lain sebagainya. Disamping itu diperlukan juga pemahaman tentang pola karakteristik siswa dan karakteristik lingkungan sekolah serta interdependensi keduanya.
Tindakan pencegahan bullying di sekolah dilakukan dengan membuat siswa merasa nyaman di sekolah. Rasa nyaman diciptakan dengan membuat lingkungan fisik sekolah nyaman dan lingkungan sosial sekolah yang harmonis.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. http://www.kompas.com/read/xml/2008/05/17/15351630/

Anonim. 2007. http://www.media-indonesia,com/berita.asp?id=129327

Hadinugroho, Dwi Lindiarto. 2002. PENGARUH LINGKUNGAN FISIK PADA PERILAKU: SUATU TINJAUAN ARSITEKTURAL. Medan: USU digital library.

Helmi, Avin Fadilla. 1999. Beberapa Teori Psikologi Lingkungan. Buletin Psikologi, Tahun ke VII, No 2.

Lie, Anita. 2005.Cooperative Learning. Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.

Russell Veith and Daniel Arkkelin. 1995. Environmental Psychology: an interdisciplinary perspective. New Jersey: Prentice-Hall,Inc.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo.N

Menyongsong Bonus Demografi

Oleh: Krista Maria

BAB I
PENDAHULUAN

I .A. Latar Belakang
Pada tahun 50-an, Indonesia, seperti banyak negara berkembang lainnya, mengalami kondisi demografis yang tidak menguntungkan. Kelahiran amat banyak, tetapi yang meninggal juga banyak. Angka pertumbuhan penduduk pun rendah. Namun dengan perkembangan teknologi obat-obatan dan program kesehatan masyarakat yang makin meningkat sejak tahun1960 maka seperti juga banyak dialami negara berkembang lainnya, angka kematian di Indonesia kemudian menurun dengan relatif cepat, sementara angka kelahiran masih tinggi. Hal ini mengakibatkan terjadinya pertumbuhan penduduk yang tinggi. Penduduk Indonesia tahun1961 adalah 97,019.000 jiwa dan pada tahun 1971 menjadi 119.232.000 jiwa.
Angka beban tanggungan (dependency ratio) meningkat dengan cepat. Angka ini merupakan perbandingan antara banyaknya orang yang tidak produktif (umur di bawah 15 tahun dan umur 65 tahun ke atas) dengan banyaknya orang golongan usia produktif (umur 15-64 tahun). Angka beban tanggungan penduduk Indonesia tahun 1971 adalah 87, ini berarti bahwa tiap 100 orang yang produktif harus menanggung 87 orang yang tidak produktif (Anonim, 2007). Angka yang tinggi ini menjadikan beban ekonomi yang besar.
Untuk mengatasi masalah tersebut Pemerintah Indonesia (Presiden Soeharto) sejak tahun 1969 melaksanakan program keluarga berencana (KB) dan turut menandatangani. “Deklarasi PBB tentang Kependudukan” (United Nations Declaration on Population). Kebijakan Program Keluarga Berencana (KB) telah mengubah pandangan masyarakat yang pronatalis (Era Soekarno) , yang melihat penduduk dari sudut kuantitas saja ; menjadi pandangan anti natalis yang menekankan pada kesejahteraan masing-masing keluarga dengan membatasi kelahiran.
Menurut Sensus Penduduk Indonesia 1980 jumlah penduduk Indonesia sebesar kira-kira 147 juta jiwa. Jumlah ini menunjukkan pertumbuhan penduduk Indonesia dari tahun 1971- 1980 sebesar 2,34 persen per tahun. Kemudian rata-rata laju pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun selama periode1980-1990 mencapai 1,97 persen per tahun dan pada periode 1990-2000 adalah sebesar 1,49 persen per tahun.
Hasil survei Lembaga Demografi UI pertumbuhan penduduk tahun 2000-2005 mencapai 1,34 persen dan diperkirakan akan terus menurun menjadi 1,27 persen tahun 2005-2010, 1,18 persen tahun 2010-1015 dan 1,06 persen pada 2015-2020.Perkiraan pertumbuhan penduduk yang terus menurun ini didasarkan pada Survey Kependudukan dan Demografi Indonesia (SKDI) yang memperlihatkan semakin rendahnya tingkat kelahiran serta semakin meningkatnya masyarakat yang ikut serta dalam program keluarga berencana. (Menkokesra.go.id, 2008)
Dampak dari keberhasilan program KB (turunnya pertumbuhan penduduk) mengakibatkan terjadinya perubahan/pergeseran struktur umur penduduk yaitu jumlah penduduk usia produktif terus meningkat sementara jumlah penduduk usia non-produktif semakin mengecil. Keadaan ini di satu sisi mengindikasikan telah terjadi penurunan persentase penduduk sebagai beban pembangunan (dependency ratio) sementara di sisi lain juga merupakan suatu jendela kesempatan (window of opportunity) karena penduduk tidak lagi menjadi beban bahkan menguntungkan pembangunan (Bonus Demografi/BD). Diperkirakan, BD akan terentang hingga sekitar tahun 2020. Beban yang sebesar 48,9 persen (tahun 2006) diperkirakan turun menjadi 47,2 persen (tahun 2008) dan terus menurun hingga mencapai titik terendah 44,5 persen pada tahun 2017 (bappenas.2008)
I. B. Pengertian/Definisi Bonus Demografi
Demographic bonus atau bonus demografi adalah kondisi yang menguntungkan bila dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan. Bonus demografi ini sesungguhnya suatu kesempatan yang sangat langka. Hal ini terjadi bila suatu masyarakat atau bangsa berhasil mengubah struktur umur penduduknya dari berbentuk piramid menjadi bentuk kubah dan kemudian berubah lagi menjadi bentuk granat.Dalam perjalanan perubahan itu, akan bisa dihitung berapa banyak penduduk yang berusia produktif (15 – 59 tahun) d banding yang berada di usia tidak produktif (0 – 14 tahun, d tambah 60 tahun ke atas).Bila suatu bangsa struktur umur penduduknya piramid atau granat maka 100 penduduk usia produktif akan disertai dengan 70 – 80 atau lebih penduduk usia tidak produktif. Hanya bedanya, kalau pada bentuk piramid yang banyak adalah anak-anak (0 – 14 tahun ), dalam bentuk granat yang banyak adalah lansia (60 tahun ke atas).Suatu masyarakat dikatakan mengalami bonus demografi bila berada dalam struktur yang berbentuk kubah tadi, yakni 100 penduduk usia produktif hanya diimbangi oleh sekitar 40 – 50 penduduk usia tidak produktif. Artinya bebannya tidak terlalu berat. Bila keberhasilan program KB dapat dipertahankan dan berhasil mencapai Total Fertility Rate (TFR) sekitar 2,1 maka pada 2015-2025 Indonesia akan mengalami bonus demografi dengan angka ketergantungan (dependency ratio) sekitar 0,4 sampai 0,5.(bkkbn,2008)Ini lah yang kita sebut dengan bonus demografi.
Struktur usia penduduk Indonesia saat ini sangat menguntungkan untuk pembangunan ekonomi. Jumlah penduduk usia kerja relatif jauh lebih besar daripada jumlah penduduk yang merupakan beban (yang masih amat muda dan yang sudah tua). Ini lah kesempatan emas yang amat berharga. Disebut bonus, karena kondisi ini tidak akan bertahan lama. Angka ketergantungan muda akan terus menurun, tetapi lama kelamaan penurunannya akan makin perlahan. Di pihak lain, peningkatan angka ketergantungan tua akan meningkat dan meningkat dengan cepat. Oleh sebab itu, suatu titik akan tercapai ketika peningkatan angka ketergantungan tua lebih besar daripada penurunann angka ketergantungan muda. Di saat itu, angka ketergantungan total meningkat. Dan beban demografis pada perekonomian akan meningkat kembali.

BAB II
PERMASALAHAN
Indonesia memang menghadapi banyak penduduk yang berada pada usia produktif tetapi kenyataannya hanya setengah produktif atau bahkan tidak produktif sama sekali. Akibatnya yang sering terlihat, satu orang yang benar-benar menghasilkan harus menanggung 3 - 4 orang yang tidak menghasilkan ditambah lagi harus membantu 2 - 3 orang yang setengah menghasilkan.
Pada tahun 2003, tingkat pengangguran terbuka 9,53 persen atau sekitar 9,5 juta warga negara yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan. Pada tahun 2004, tingkat pengangguran diprediksi 9,72 persen. Ternyata angka riil yang muncul Januari 2005 menunjukkan tingkat pengangguran terbuka tahun 2004 mencapai 9,86 persen, ini merupakan bukti pembenahan ekonomi belum berjalan baik. Pengangguran terbuka bukanlah persoalan final yang mesti dihadapi. Masih ada angka pengangguran setengah terbuka, yakni tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam per bulan. Menurut prediksi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) jumlah penganggur setengah terbuka tahun 2004 mencapai 28,93 juta orang atau 27,5 persen dari total angkatan kerja. (KCM, 2005).
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Erman Suparno mengatakan angka pengangguran pada awal 2007 masih tercatat sekitar 10,55 juta. Hal itu terjadi karena ketidakseimbangan pertumbuhan angkatan kerja dengan kesempatan kerja. "Ketidakseimbangan ini berakibat pada terbatasnya penyerapan tenaga kerja dan ditambah dengan ketidaksesuaian antara kualitas tenaga kerja dengan persyaratan jabatan yang ada. Makanya, angka pengangguran tetap tinggi," kata Erman dalam penutupan Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP) 2007, di Pendopo Agung, Sumenep, Sabtu (8/12/2007) (Media Indonesia, 2008)
Angka pengangguran di Indonesia diperkirakan akan bertambah sebesar 16,92%. Hal ini terjadi jika pemerintah jadi menaikkan BBM pada prosentase maksimal sebanyak 30 persen.Sementara jika kenaikan harga BBM hanya sebesar 20%, peningkatan pengangguran diperkirakan sebesar 11,28%. Dan untuk kenaikan harga BBM sebesar 10% akan berdampak pada kenaikan jumlah pengangguran sebesar 5,64%. Demikian hasil kajian ReforMiner Institute yang dipaparkan Pri Agung Rakhmanto di Cikini, Jakarta, Rabu (7/5/2008).(Detik Finance, 2008).
Angka pengangguran cukup memperihatinkan, sejak 1997 sampai 2003, angka pengangguran terbuka di Indonesia terus menaik, dari 4,18 juta menjadi 11,35 juta. Didominasi oleh penganggur usia muda," kata Tjepy Aloewie, Sekretaris Jenderal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), di Jakarta, Rabu (5/5/2004) (Tempointeraktif, 2008). Data Badan Pusat Statistik tahun 2003 menunjukkan, hanya sekitar 2,7 persen dari angkatan kerja di Indonesia yang berpendidikan perguruan tinggi, sementara 54,6 persen angkatan kerja adalah tamatan sekolah dasar atau tidak menamatkan sekolah dasar. Tingkat pengangguran terbuka 9,53 persen pada tahun 2003 atau sekitar 9,5 juta warga negara yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan merupakan bukti pembenahan ekonomi belum berjalan baik. Sejumlah 36,7 persen dari penganggur terbuka ini berusia muda antara 15-24 tahun. Penganggur usia muda ini seharusnya adalah generasi muda yang masih duduk di bangku sekolah. Selain usia muda, pengangguran juga banyak mencakup berpendidikan rendah, tinggal di pulau Jawa dan berlokasi di daerah perkotaan. "Intensitas permasalahan juga lebih banyak terjadi pada penganggur wanita dan penganggur terdidik," kata Tjepy Aloewie, Sekretaris Jenderal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa masalah yang dihadapi dalam kaitannya dengan bonus demografi adalah:
· Tingginya angka pengangguran (pada tahun 2007 sebesar 10,55 juta jiwa dan akan bertambah sekiotar 16,92% dengan naiknya BBM di bulan Mei 2008),
· Pengangguran di dominasi oleh usia muda (usia sekolah) dan berpendidikan rendah,
· Intensitas permasalahan lebih banyak terjadi pada penganggur kaum wanita dan penganggur terdidik,
· Pengangguran terpusat di pulau Jawa dan di kota-kota besar.
BAB III
PEMBAHASAN

Menurut Marx ( Munir Rozi dan Budiarto, 1986), surplus relatif penduduk atau pengangguran dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
· yang mengambang (floating)
· yang terus-menerus tetap (laten)
· yang berhenti (stagnant)
Kategori mengambang terdiri dari sejumlah besar orang-orang yang tenaganya tersisihkan oleh mesin maupun perubahan struktur yang terjadi dalam industri.
Kategori laten, disebabkan karena bagian penduduk pengolah tanah sudah berada dalam posisi untuk pindah ke kota besar, terutama disebabkan akibat masuknya modal dalam sektor pertanian. Kategori berhenti (stagnant) mencakup para pekerja yang pekerjaannya sangat tidak teratur sehingga tingkat kehidupannya mencapai titik yang terendah. Bentuk-bentuk pengangguran itu banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomis dan demografis.
Melihat dari ketiga kategori tersebut di atas maka pengangguran yang terjadi di Indonesia saat ini mencakup ketiga kategori tersebut. Hal ini tercermin dari tingginya penganggurann di kota-kota besar (pengemis, preman, pengamen jalanan, serta kuli musiman yang berasal dari daerah/pedesaan). Bila ditinjau dari segi ekonomis dan demografis (secara ekonomis: Negara Indonesia kekurangan dana/banyak hutang luar negeri dan secara demografis: jumlah penduduk besar dan penyebarannya tidak merata/wilayahnya luas) maka untuk menanggulangi pengangguran tersebut bukan persoalan yang mudah. Sebagai negara berkembang, disamping masalah jumlah penduduk yang besar juga terkait dengan masalah kurangnya pengetahuan dan rendahnya tingkat kehidupan kehidupan tenaga yang produktif ( ada kebutuhan peningkatan pengetahuan/keterampilan dan modal kerja). Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Erman Suparno mengatakan: “Pemerintah menargetkan penurunan angka pengangguran di 2007 hingga 9,4 juta orang. Saat ini terdapat 10,9 juta orang pengangguran. Untuk mencapai target penurunan itu, pemerintah harus bisa menyerap empat juta orang," Pemerintah berupaya mengurangi pengangguran dengan tiga langkah strategis, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan investasi, peningkatan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan.
"Program nasional yang kita laksanakan adalah pemberdayaan masyarakat dengan anggaran Rp 51 triliun, yang menjangkau 32 juta orang miskin, 33 propinsi, 2.900 kecamatan dan 33.500 desa/kelurahan," jelasnya. Pemerintah akan fokus pada pembangunan dengan pola "pro growth", "pro job" dan "pro poor". Caranya, dengan meningkatkan pertumbuhan berbasis ekspor dan investasi, menggerakkan sektor riil, revitalisasi sektor pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi pedesaan.
Depnakertrans akan fokus pada peningkatan gerakan penanggulangan kewirausahaan masyarakat pedesaan dan miskin kota, yaitu melalui program pelatihan, sertifikasi dan penempatan. Upaya lain, menciptakan iklim ketenagakerjaan yang kondusif, memperluas lapangan kerja, kesempatan kerja serta peningkatan kesejahteraan pekerja.
Dalam penempatan tenaga kerja luar negeri, pemerintah juga akan membuka 15 negara tujuan penempatan baru dari 15 negara yang ada. Pada Tahun 2006 telah dicapai target penempatan 680 ribu orang. "Pada 2007 kita menargetkan 800 ribu orang," ujar Erman disamping menggalakkan program transmigrasi dengan paradigma baru, yakni transmigrasi dengan pola Kota Terpadu Mandiri di sejumlah daerah. (Kapan Lagi.com, 2008).
Menurut penulis, untuk mengatasi masalah pengangguran dalam rangka memanfaatkan bonus demografi yang sudah di depan mata adalah dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia/SDM. Orang yang produktif haruslah orang yang berkualitas, berpendidikan bagus dan bisa bekerja dengan produktif. Dengan demikian, peningkatan kualitas penduduk perlu menjadi perhatian pemerintah. Jika hal tersebut diabaikan, maka penduduk yang produktif menjadi tidak produktif dan menjadi beban. Beban semakin besar jika hanya sebagian kecil dari kelompok usia produktif yang benar-benar produktif. Ini akan berdampak pada kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi hanya bisa terjadi bila kualitas SDM bagus. Maka salah satu cara mengatasi pengangguran adalah memperbaiki kondisi ketenagakerjaan di Indonesia melalui peningkatan kualitas SDM. Seperti disebutkan di atas, 54,6 persen pekerja di Indonesia adalah lulusan SD atau bahkan tidak lulus SD. Strategi jangka panjang dari peningkatan kualitas SDM tentu memperbaiki kualitas sistem pendidikan di negeri ini.
Dalam jangka pendek, sistem pelatihan keterampilan mendesak dibenahi, berupa pelatihan-pelatihan keterampilan bagi masyarakat umum dan bebas biaya/gratis sekaligus pemberian bantuan permodalan baik dalam bentuk modal kerja maupun modal untuk memulai suatu pekerjaan di tempat lain (bagi TKI/TKW). Bank-bank papan atas diwajibkan menyalurkan kredit micro sebanyak-banyaknya seperti yang dilakukan oleh peraih Nobel Perdamaian dari Bangladesh (Muhammad Yunus dengan Grameen Bank nya yang mampu memberdayakan masyarakat miskin dengan penyaluran kredit mikro)
Dalam jangka panjang adalah pembukaan sekolah-sekolah kejuruan gratis (ikatan dinas), yang ditujukan bagi murid-murid yang tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi, dengan sistim link dengan perusahaan-perusahaan yang akan menerima lulusan tersebut. Biaya sekolahnya di ambil dari biaya pelatihan yang seharusnya dikeluarkan sebuah perusahaan seandainya perusahaan itu sendiri yang akan melatih karyawannya.
Agar pengangguran tidak terpusat di kota-kota besar dan pulau Jawa, dapat diatasi dengan pemberian insentif/kemudahan yang signifikan bagi para investor yang bersedia menanam modal di daerah/ luar pulau Jawa. Juga pemberian gaji/upah tambahan terutama bagi pegawai yang bersedia ditempatkan di daerah pinggiran/luar pulau Jawa. Dengan keuntungan dan kemudahan yang signifikan maka orang-orang akan lebih senang bekerja di daerah/luar pulau Jawa, yang berakibat juga pada bergeraknya perekonomian daerah setempat sehingga pendistribusian penduduk dan kesejahteraan akan lebih merata.
Patut diingat, biaya memulai investasi di Indonesia saat ini adalah yang tertinggi di Asia. Menurut catatan Bambang (Direktur Ketenagakerjaan dan Analis Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), biaya untuk memperoleh izin investasi di Indonesia mencapai 1.163 dollar AS, melalui 12 jenis prosedur, dan membutuhkan waktu 151 hari. Bandingkan dengan proses serupa di Thailand yang hanya membutuhkan 159,63 dollar AS, melalui delapan prosedur, dan hanya membutuhkan waktu 33 hari. (Kompas, 2008)
Banyak perempuan setelah menyelesaikan tugas reproduksinya pada usia 35 – 40 tahun kebingungan menghabiskan sisa usia reproduktifnya. Apa yang harus dilakukan untuk menyiapkan kaum perempuan (jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki) tadi agar setelah selesai menunaikan tugas reproduksinya mampu secara faktual menjadi kekuatan ekonomi keluarganya yang lebih lanjut menjadi kekuatan ekonomi bangsa. Mereka perlu diberdayakan dengan pemberian pelatihan-pelatihan yang sesuai serta bantuan pinjaman modal kerja (kredit mikro). Dapat juga disalurkan menjadi TKW dengan jaminan kejelasan penempatan, perlindungan hukum dan pemulangan yang layak (seperti yang dilakukan negara Pilipina pada TKWnya)
Terlepas dari semua kebijakan penanggulan pengangguran (pemanfaatan bonus demografi) tersebut di atas, maka yang terutama penting adalah kemauan politik bangsa Indonesia untuk membangun karakter bangsa yang jujur (tidak korup), hidup hemat, tekun, komitmen dan bertanggung jawab. Sebab akar semua masalah adalah dari perilaku manusia.

BAB IV
KESIMPULAN
· Kaum produktif dengan jumlah yang besar (sebagai bonus demografi) masih dianggap beban dan belum dianggap asset ekonomi oleh negara (tidak dimanfaatkan benar-benar oleh negara ).
· Negara Indonesia tidak siap menyongsong bonus demografi yang sudah di depan mata. (terbukti dengan terus meningkatnya angka pengangguran).
· Bonus demografi yang bersifat sementara itu (sebagai hasil upaya program KB bertahun-tahun lalu/sejak tahun 1969) kelihatannya akan menjadi sia-sia belaka.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2007). Dasar-dasar demografi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Anonim. http://detikFinance Angka pengangguran bertambah 16,92%, jika BBM naik 30 %.htm –dikunjungi 7 Mei 2008.
Anonim. http://kapanlagi_com/ Erman Suparman Jumlah Penganggur Tahun ini 13,6 Juta Orang.htm- dikunjungi 20 Mei 2008.
Anonim. http://kementerian/ Pemberdayaan Perempuan.htm- dikunjungi 20 Mei 2008
Anonim. KCM. http://Menghitung Angka Pengangguran dan Harapan yang Raib- Sabtu,12 Februari 2005.htm- dikunjungi tanggal 20 Mei 2008.
Anonim. http://tempointeraktif_com-tiap/ Tahun Angka Pengangguran Indonesia Naik.htm- dikunjungi 20 Mei 2008.
Anonim. http://media/ Indonesiaangka pengangguran.htm-dikunjungi 20 Mei 2008.
Anonim. http://menkokesra.go.id/content/view/1975/39/
Anonim. http://www.bkkbn.go.id/article_detail.php?aid=113-dikunjungi 20 Mei 2008
Anonim.http://www.bappenas.go.id/.../RKP%202008/Perpres/Buku2/&view=Bab%2029%20-%20Narasi.doc-dikunjungi 20 Mei 2008.
Munir, Rozi dan Budiarto (1986). Teori-Teori Kependudukan (Terjemahan). Jakarta: PT Bina Aksara.

Kebisingan di Perkotaan dari Aspek Psikologi Lingkungan

KEBISINGAN DI PERKOTAAN DARI ASPEK PSIKOLOGI LINGKUNGAN
Oleh: Krista Maria

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada waktu Aristoteles dilahirkan (383 tahun sebelum Masehi) jumlah penduduk dunia diperkirakan baru sekitar 200 juta jiwa. Diperlukan waktu selama 2000 tahun (tahun 1650) untuk mencapai 500 juta. Sekitar 150 tahun setelah itu yaitu pada tahun1830 jumlah penduduk dunia sudah menjadi dua kali lipat, dan hanya dalam waktu 100 tahun berikutnya (tahun1930) angka itu mencapai 2 milyar. Sekarang atau 65 tahun kemudian penduduk dunia talah mencapai 6 milyar, dan pada tahun 2100 diproyeksikan jumlahnya akan menjadi 12 milyar.1
Terdapat kecenderungan kuat bahwa penduduk dunia akan terkonsentrasi (sekitar 50 %) di kota-kota mega (megacities) yang berpenduduk sekitar 15-20 juta jiwa.2
Tingginya pertambahan penduduk dunia dan terkonsentrasinya sebagian besar penduduk dunia di perkotaan berimplikasi pada peningkatan aktivitas manusia di perkotaan dan peningkatan pembangunan berbagai sarana dan prasarana untuk pemenuhan kebutuhan manusia.
Aktivitas manusia di perkotaan berlangsung 24 jam sehari dalam berbagai bentuk. Contohnya: aktivitas lalu lintas, pembangunan fisik berbagai sarana dan prasarana, pasar, hiburan, dan lain sebagainya. Semua aktivitas tersebut memberikan dampak bagi lingkungan perkotaan berupa polusi suara.
Polusi suara dalam bentuk kebisingan seperti suara mesin mobil, pabrik, alat musik, suara manusia lewat loudspeaker, dan alat-alat berat dapat menimbulkan ketidaknyamanan yang berujung pada timbulnya berbagai gangguan fisik dan mental.

________________
1 Johan S. Masjhur, Manusia, Kesehatan, dan Lingkungan, ed. Kusdwirartri Setiono, Anna Alisyahbana (Bandung: Penerbit Alumni, 1998), p.1.

2 Ibid, p.1.

B. Tujuan
Pendekatan psikologi lingkungan pada kebisingan bertujuan menganalisis, menjelaskan, meramalkan dan bila perlu mempengaruhi atau merekayasa hubungan antara tingkah laku manusia dengan lingkungannya (kebisingan) untuk kepentingan manusia dan kepentingan lingkungan itu sendiri.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Bising adalah suara-suara yang tidak dikehendaki (mengganggu).1
Kebisingan atau bising dapat juga diartikan sebagai adanya gangguan suara yang tidak sesuai dengan tempat dan waktunya.2
Karena bising itu tidak dikehendaki/mengganggu, maka sifatnya adalah subjektif (tergantung pada masing-masing individu) dan bersifat psikologik (penimbul stress).Selama suara itu tidak dirasakan mengganggu disebutnya adalah bunyi (voice).

B. Aspek Fisiologik
Aspek fisik bunyi
Bunyi datang dari lingkungan berupa gelombang-gelombang suara. Gelombang-gelombang suara ini dapat diukur frekuensinya (siklus per detik) dengan satuan ukur cps (cyclus per second) atau Hz (Hertz). Tinggi rendahnya Hz dinamakan pitch. Pada telinga manusia, Hz yang tinggi (suara tinggi) disebut sopran, dan Hz yang rendah (suara rendah) disebut bas
Tinggi rendahnya gelombang suara (amplitudo) diukur dengan microbars. Tinggi rendahnya microbars menentukan kesan keras dan lemahnya bunyi (volume).
Telinga manusia umumnya peka terhadap suara antara 20 – 20.000 Hz dan 0,0002 – 1.000 microbars. Suara dengan volume 1,000 microbars akan menimbulkan rasa sakit pada telinga daripada kesan bunyi.
_______________
1 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Lingkungan (Jakarta: Grasindo, 1992), p. 92.

2 Karden Eddy Sontang Manik, Pengelolaan Lingkungan Hidup (Jakarta: Djambatan, 2007), p. 171.

Aspek fisiologis (ilmu faal) bunyi
Secara fisiologi (ilmu faal), gelombang suara diterangkan sebagai proses penginderaan bunyi oleh telinga. Anatomi telinga manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar (outer ear), tengah (middle ear) dan dalam (inner ear) .
Suara dari lingkungan akan diterima daun telinga dan liang telinga yang merupakan bagian telinga luar. Selanjutnya gelombang suara akan menggetarkan gendang telinga (membran timpani) yang merupakan selaput tipis dan transparan. Kemudian getaran suara mulai memasuki telinga tengah yang antara lain berisi 3 buah tulang pendengaran (maleus – incus – stapes). Sebagian maleus melekat pada sisi dalam gendang dan akan bergerak bila gendang telinga bergetar. Stapes berhubungan dengan selaput oval window (bagian telinga dalam). Karena ketiga tulang pendengaran saling bersendi satu sama lain, maka akan menjembatani getaran dari gendang telinga, memperkeras dan menyampaikannya ke telinga dalam.
Kohlea yang memiliki struktur pipa 2 1/2 lingkaran dan menyerupai rumah siput merupakan bagian dari telinga dalam. Kohlea berisi cairan elektrolit. Pergerakan tulang tulang pendengaran akan menggetarkan selaput oval window , yang akan menyebabkan terjadinya aliran cairan kohlea. Aliran tersebut akan menggerakkan sel sel rambut halus yang melekat pada saluran kohlea, pada saat inilah terjadi perubahan gelombang suara menjadi gelombang listrik. Potensial listrik yang timbul akan diteruskan ke pusat pendengaran di otak (lobus temporalis) melalui saraf pendengaran. 4
Tahap terakhir proses pendengaran adalah persepsi tentang bunyi, dimana manusia menginterpretasikan bunyi yang ditangkapnya.

C. Aspek Psikologik
Ada 3 faktor yang menyebabkan sebuah suara secara psikologik dianggap sebagai bising, yaitu volume (dB atau phone), perkiraan, dan pengendalian.
Makin tinggi volume suara akan dirasakan makin mengganggu. Gangguan terjadi pada efektivitas komunikasi interpersonal. Contohnya: Jika seseorang sedang berbicara dengan orang lain, gangguan bising menyebabkan suara lawan bicaranya tidak dapat ditanggap dengan jelas sehingga menimbulkan stress.
Kalau suara bising itu dapat diperkirakan datangnya atau berbunyi secara teratur maka gangguan yang ditimbulkan akan lebih kecil dibanding jika suara itu datang tiba-tiba /tidak dapat diperkirakan dan berbunyi tidak teratur. Contohnya suara kereta api, tidak dirasakan mengganggu karena dapat diperkirakan. Sebaliknya suara yang terdengar tanpa diperkirakan sebelumnya (misalnya suara petasan) akan terasa mengganggu.
Faktor pengendalian erat hubungannya dengan perkiraan. Contohnya jika kita membunyikan kaset musik keras-keras, kita tidak merasa terganggu karena dapat mengendalikan (membunyikan atau mematikan sumber bunyi tersebut). Tetapi bagi tetangga kita akan terasa mengganggu karena ia tidak bisa mengendalikan suara musik tersebut.
TIdak ada kendali pada kebisingan menimbulkan stress yang jika berlangsung lama pada akhirnya bisa menimbulkan reaksi learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari). Artinya. Orang menjadi tidak berdaya dan membiarkan saja bising itu walaupun stressnya bertambah besar.
D. Jenis dan Sumber Bising
Jenis bising dikelompokkan menjadi:
(1) Bising yang kontinu (steady noise). Jenis bising ini mempunyai tingkat tekanan suara yang relative sama selama terjadinya bising. Contoh penyebab bising ini adalah air terjun, mesin pembangkit tenaga listrik, mesin industri, dan lain-lain.
(2) Bising yang tidak terus-menerus. Jenis bising ini mempunyai tingkat tekanan suara yang berbeda-beda selama bising berlangsung. Contoh penyebab bising ini adalah lalu lintas kendaraan bermotor (dari jarak dekat), suara senjata, pesawat terbang sedang lewat dan sebagainya.
Sumber bising ada dua, yaitu:
(1) Berbentuk titik. Bising yang keluar dari sumber berbentuk titik akan menyebar melalui udara dengan kecepatan suara (1.100 feet/detik) dan penyebarannya berbentuk lingkaran. Sumber berbentuk titik antara lain mobil yang berhenti dan mesinnya dihidupkan, mesin pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain.
(2) Berbentuk garis. Bising yang keluar dari sumber berbentuk garis akan menyebar melalui udara dengan penyebaran suaranya tidak berbentuk lingkaran, tetapi berbentuk silinder yang memanjang. Contoh sumber bising ini adalah bising yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor yang sedang bergerak (jalan).
C. Dampak Bising
Dampak dari kebisingan secara fisiologik adalah terganggunya alat pendengaran. Gangguan ini bisa bersifat sementara atau menetap.
Apabila tingkat kebisingan melampaui batas toleransi manusia (individu), dampaknya dapat berupa:
(1) Pendengaran berkurang. Pendengaran berkurang berarti berkurangnya kemampuan mendengar disbanding dengan pendengaran manusia normal. Perubahan pendengaran karena bising ada dua tingkatan:
(a) Pendengaran yang berkurang untuk sementara (temporary Threshold shift). Seseorang yang mengalami bising dari suara yang keras dalam waktu yang pendek, pendengarannya akan terganggu untuk sementara. Pendengaran yang berkurang untuk sementara meningkat secara linier, jika terjadi tingkat bising antara 80-130 dB dan peningkatan tersebut sebanding dengan lamanya terkena bising.
(b) Pendengaran yang berkurang secara permanent (noise induced permanent threshold sfhift). Keadaan ini dapat terjadi bila seseorang mengalami kebisingan yang keras dalam waktu yang lama. Contoh:
· Selama beberapa tahun terkena kebisingan selama 8 jam sehari dengan tingkat kebisingan lebih besar dari 105 dB;
· Pada tingkat kebisingan 80-95 dB, sebanyak 50% dari jumlah yang mengalaminya akan tuli;
· Tingkat kebisingan sedang yang terus-menerus tidak akan mengakibatkan kekebalan pada pendengaran.
(2) Gangguan komunikasi. Dengan adanya kebisingan, pembicaraan harus dilakukan lebih kuat. Seseorang yang sedang menerima telepon misalnya, akan
terganggu pembicaraannya (salah menerima pesan), jika pembicaraan dilakukan saat terjadi kebisingan.
(3) Gangguan pada konsentrasi dan daya kerja. Konsentrasi dan daya kerja dapat terganggu dengan adanya kebisingan. Akibat selanjutnya, pekerjaan tidak dapat diselesaikan tepat waktu atau salah. Berdasarkan hukum Yarkes dan Dodson dijelaskan bahwa peningkatan kebisingan pada jenis tugas yang sederhana bisa meningkatkan prestasi kerja, tetapi makin majemuk sifat tugas tersebut makin besar kecendrungannya bahwa prestasi kerja justru akan turun. (4) Gangguan pada ketenangan masyarakat. Ketenangan atau kenyamanan masyarakat dapat terganggu jika terdapat sumber bising di sekitarnya. Misalnya, adanya pabrik, terminal, lapangan terbang, dan lain-lain.
(5) Gangguan tidur. Seseorang akan terganggu tidurnya atau dapat terbangun dari tidurnya oleh adanya kebisingan.
Akibat kebisingan terhadap kesehatan fisik secara umum dapat meningkatkan tekanan darah, gangguan pencernaan, dan sebagainya. Akibat kebisingan pada kesehatan mental yaitu dapt menimbulkan sakit kepala, rasa mual, bahkan impotensia seksual.
Dalam hal tingkah laku sosial, dilingkungan bising jarak personal space lebih lebar daripada di tempat yang tidak bising. Juga hubungan informal antar tetangga makin berkurang jika suara lalulintas di sekitar tempat pemukiman meningkat. Kebisingan juga bersifat meningkatkan agresivitas manusia.
D. Cara Mengurangi Kebisingan
Pemecahan masalah kebisingan membutuhkan perubahan atau modifikasi pada beberapa atau keseluruhan dari ketiga elemen dasar berikut ini:
1. Modifikasi sumber bunyi untuk mengurangi tingkat kebisingan.
2. Mengontrol jalur transmisi dan lingkungan untuk mengurangi tingkat kebisingan mencapai pendengarnya.
3. Menyediakan peralatan perlindungan pribadi bagi penerima kebisingan.Stephen Konz (1973) menyarankan beberapa cara mengurangi kebisingan di tempat kerja berupa empat prosedur penangangan dasar, yaitu:
1. Melakukan perencanaan: memilih menggunakan peralatan yang lebih tidak menimbulkan suara bising.
2. Memodifikasi sumber kebisingan: mengencangkan baut-baut pada mesin, meminyaki peralatan mesin/motor penggerak.
3. Memodifikasi gelombang suara: menggunakan perlatan khusus, seperti headphone, dll.
4. Perlindungan pribadi: mengurangi paparan kebisingan, menggunakan alat penutup/pelindung telinga.




KESIMPULAN

· Kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki/mengganggu.
· Kebisingan bersifat subjektif (tergantung individunya) dan bersifat psikologik (penimbul stress).
· Pertambahan penduduk di perkotaan meningkatkan aktivitas manusia yang berakibat pada peningkatan kebisingan.
· Kebisingan di perkotaan merupakan hasil aktivitas manusia (antroposentris)
· Kebisingan di perkotaan mempengaruhi pola hubungan antar individu (makin melebarnya personal space) dan berkurangnya hubungan sosial antar tetangga.
· Dampak kebisingan bersifat fisiologik berupa berkurang atau hilangnya kemampuan pendengaran, gangguan kesehatan (tekanan darah, gangguan pencernaan) dan bersifat psikologik (pemarah, agresif).
· Pemecahan masalah kebisingan dilakukan dengan memodifikasi sumber kebisingan, mengontrol jalur transmisi dan lingkungan kebisingan serta penggunaan alat penutup/pelindung telinga.
· Hubungan kebisingan dan perilaku manusia perlu dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat terutama di perkotaan agar dapat dilakukan pencegahan dan penanggulangan kebisingan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, htt://www.geocities.com/HotSprings/Spa/9987/info.htm
Davis, Mackenzie L and Susan J. Masten, Principles of Environmental Engineering and Science. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2004.

Masjhur, Johan S. Manusia, Kesehatan, dan Lingkungan, ed. Kusdwirartri Setiono, Anna Alisyahbana. Bandung: Penerbit Alumni.1998.

Manik, Karden Eddy Sontang. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta:Djambatan. 2007.

Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo. 1992.

Veitch, Russell and Daniel Arkkelin. Environmental psychology: an interdisciplinary perspective. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 1995.

Langkah kedua

Hari ini Senin, 2 Desember '08.
Ini kedua kali saya bikin blog, yg pertama lupa pasword jadi gak bisa diakses.
Saat ini saya lagi pengen santai buat blog untuk curhat setelah beberapa minggu disibukkan dengan keruwetan bikin proposal tesis yang kalimat-kalimatnya harus ilmiah he he... (kalau di blog kan bisa suka-suka tho...)

Kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup Pada Lembaga Pelatihan Kerja Industri

Oleh: Krista Maria

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dunia industri termasuk salah satu penyumbang terbesar bagi kerusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu sudah sewajarnya para pelaku industri dibekali pemahaman tentang lingkungan hidup agar tercipta industri yang berwawasan lingkungan.
Dalam pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup selama ini, dijumpai berbagai situasi permasalahan antara lain: rendahnya partisipasi masyarakat untuk berperan dalam pendidikan lingkungan hidup yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap permasalahan pendidikan lingkungan yang ada, rendahnya tingkat kemampuan atau keterampilan dan rendahnya komitmen masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Dalam jalur pendidikan non formal, seperti lembaga pelatihan kerja (LPK) industri masih belum menganggap bahwa pendidikan lingkungan hidup penting sehingga amat jarang diberikan pendidikan lingkungan hidup.
Untuk kepentingan perkembangan pendidikan lingkungan hidup di dunia industri pada masa yang akan datang, maka perlu disusun suatu kurikulum pendidikan lingkungan hidup pada lembaga pelatihan kerja (LPK) industri untuk dijadikan acuan bagi semua pihak terkait bagi pelaksanaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup.

B. Pengertian dan Definisi
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak manusia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

2. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.
3. Pendidikan lingkungan hidup adalah upaya mengubah perilaku dan sikap yang dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai lingkungan dan isu permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat menggerakkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.
4. Pendidikan lingkungan hidup non formal adalah kegiatan pendidikan di bidang lingkungan hidup yang dilakukan di luar sekolah yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang yang diselenggarakan bagi yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal. Pendidikan nonformal juga berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Bentuk umum dari kegiatan pendidikan non formal adalah Kursus/pelatihan yang diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Metode yang umum digunakan adalah kombinasi antara metode ceramah, latihan (studi kasus), dan diskusi.
5. Kelembagaan pendidikan lingkungan hidup adalah seluruh lapisan masyarakat yang meliputi pelaku, penyelenggara dan pelaksana pendidikan lingkungan hidup, baik di jalur formal, nonformal dan informal.
6. Industri yang berwawasan lingkungan adalah yang memenuhi persyaratan berikut:
· Kepatuhan terhadap sistem peraturan perundang-undangan lingkungan yang berlaku;
· Kewaspadaan terhadap hukum Alam yang tidak mudah dapat diduga seperti kemungkinan adanya gempa, banjir, tsunami dan sebagainya;
· Sumber daya baik tenaga yang kompeten, maupun peralatan teknologi bersih;
· Menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan, tidak menggunakan bahan pelarut (solvent) yang berlebihan, aerosol atau CFC yang dilarang, hemat energi dan sebagainya;
· Meminimasi sisa sumber daya, tidak menghasilkan sisa B3, mendaur ulang sisa, mengolah sisa sumber daya dengan teknologi yang ramah seperti proses biologi, dan sebagainya;
· Menghasilkan produk yang awet dengan pengepakan yang higienis, dan sebagainya;
· Masalah yang dilibatkan ke luar (eksternal) harus mencakup dalam upaya atau biaya internal;
· Dalam perencanaan dan pengambilan keputusan perlu tindakan preventif; perangkat preventif dan bersifat proaktif terhadap standarisasi yang berwawasan lingkungan, seperti ISO 9000 maupun ISO 14000;
· Tidak merangsang konsumerisme konsumen.[1]

C. Landasan dan Kebijakan
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.[2]
3. Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.[3]
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

BAB II
VISI, MISI, DAN TUJUAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP
A. Visi
Terwujudnya pelaku industri yang memiliki pengetahuan, kesadaran, kepedulian dan keterampilan untuk berperan aktif dalam melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
B. Misi
Untuk dapat mewujudkan visi tersebut di atas, maka ditetapkan misi yang harus dilaksanakan, yaitu:
1. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dan keterampilan tentang lingkungan hidup.
2. Mengembangkan sensivitas dan kepedulian terhadap lingkungan.
3. Meningkatkan partisipasi dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup.
4. Meningkatkan sinergi antar pekerja dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup.
5. Mampu berprestasi dalam tingkat lokal dan global dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup.
C. Tujuan, Sasaran dan Ruang Lingkup
1. Tujuan
Tujuan pendidikan lingkungan hidup sektor industri:
Mendorong dan memberikan kesempatan kepada pelaku industri memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang pada akhirnya dapat menumbuhkan kepedulian, komitmen untuk melindungi, memperbaiki serta memanfaatkan lingkungan hidup secara bijaksana, turut menciptakan pola perilaku baru yang bersahabat dengan lingkungan hidup, mengembangkan etika lingkungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup.
Sesuai dengan tujuan pendidikan lingkungan hidup, maka disusunlah kebijakan pendidikan lingkungan hidup di Lembaga Pelatihan Kerja Industri yang bertujuan untuk menciptakan iklim yang mendorong semua peserta pelatihan berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan hidup.
a.
2. Sasaran
Sasaran kebijakan pendidikan lingkungan hidup adalah:
a. Terlaksananya pendidikan lingkungan hidup di sektor industri sehingga dapat tercipta kepedulian dan komitmen peserta pelatihan calon pekerja dan pekerja industri dalam turut melindungi, melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup;
b. Diarahkan untuk seluruh calon pekerja dan pekerja industri di seluruh wilayah Indonesia sehingga tujuan pendidikan lingkungan hidup bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud dengan baik.
D. Isu/Materi Pendekatan dan Metode
1. Isu/Materi Pendidikan LH Persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan yang bersifat sistemik, kompleks, serta memiliki cakupan yang luas. Oleh sebab itu, materi atau isu yang diangkat dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan lingkungan hidup juga sangat beragam. Sesuai dengan kesepakatan nasional tentang Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan dalam Indonesian Summit on Sustainable Development (ISSD) di Yogyakarta pada tanggal 21 Januari 2004, telah ditetapkan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat saling ketergantungan dan saling memperkuat. Dari ketiga pilar tersebut dikembangkan isu/materi yang sesuai dengan dunia industri (Gambar Bagan Kurikulum PLH), antara lain yaitu:
1.
Pilar Ekonomi : menekankan pada perubahan sistem ekonomi agar semakin ramah terhadap lingkungan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan antara lain adalah :

a.
Pola konsumsi dan produksi :, Ekolabel, Produk bersih: 3R (Reduce, Refuse, Replace).

b.
Pola Kemitraan: Usaha Kecil Menengah/UKM, Produk dan teknologi inovatif, Team Work, CSR (Corporate Social Responsibility).

2.
Pilar Sosial : menekankan pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Isu atau materi yang berkaitan antara lain adalah :

a.
Pola Kemitraan : Tanggung jawab sosial korporasi/CSR (Corporate Social Responsibility), Tanggung gugat korporasi /CA (Corporate Accountability).

b.
Team work: Disiplin kerja, jejaring kerja (net working)lingkungan.

c.
Kesehatan lingkungan: Kesehatan dan Keselamatan Kerja /K3, Tata ruang/Pemanfaatan lahan

3.
Pilar Lingkungan : menekankan pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan antara lain adalah :

a.
Audit lingkungan : Sistem Menejemen Lingkungan /SML ISO 14001, Ekolabel.

b.
Dampak Lingkungan: AMDAL dan Tata guna Lahan


2. Pendekatan dan Metode Pendidikan Lingkungan Hidup Sebagai sebuah upaya untuk mengubah cara pandang dan perilaku peserta pelatihan agar memiliki kepedulian dan kesadaran yang lebih baik tentang pentingnya kelesetarian lingkungan, kegiatan pendidikan lingkungan hidup memerlukan metode atau pendekatan yang tepat sesuai dengan karakteristik persoalan dan kelompok sasaran yang dihadapi. Di bawah ini terdapat beberapa pendekatan atau metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar :

1.
Pendekatan Tatap Muka yang mana instruktur/pengajar/nara sumber bertemu secara langsung dengan para peserta (kelompok sasaran) pada waktu dan tempat tertentu. Pendekatan ini umumnya diselenggarakan dalam bentuk penyuluhan, kelas, kursus/pelatihan, seminar, dan lokakarya. Penerapan pendekatan tatap muka ini seringkali dilakukan dengan cara mengkombinasikan berbagai metode pembelajaran. Adapun metode yang umum digunakan adalah :

a.
Metode Ceramah, umumnya dicirikan oleh situasi pembelajaran di mana instruktur/pengajar/nara sumber aktif menyampaikan materi sedangkan peserta hanya mendengarkan (pasif)

b.
Metode Diskusi, yaitu suatu metode pembelajaran yang dicirikan oleh adanya interaksi yang intensif antara instruktur/pengajar/nara sumber dan peserta yang mana antara keduanya saling memberikan pertanyaan dan tanggapan.

c.
Metode studi kasus, yaitu suatu metode pembelajaran yang mana para peserta diarahkan untuk mendalami suatu kasus yang spesifik agar dapat melakukan diagnosa guna menemukan cara penyelesaiannya. Metode ini seringkali didukung dengan kunjungan/observasi lapang

d.
Metode eksursi, yaitu metode pembelajaran yang menekankan pada pentingnya pemahaman terhadap kondisi real di lapangan baik untuk keperluan orientasi, pengambilan data, maupun eksplorasi.

2.
Pendekatan Non Tatap Muka yang mana instruktur/pengajar/nara sumber tidak bertemu dengan para peserta (kelompok sasaran). Materi pendidikan atau isu lingkungan yang diangkat umumnya disampaikan secara tertulis atau visual melalui tulisan populer, artikel, majalah, buku, iklan layanan masyarakat, lagu, film, dan sejenisnya yang dipubilkasikan secara luas kepada pelaku industri.

DAFTAR PUSTAKA

Anon. Kebijakan Pendidikan Lingkungan Hidup. Deputi I Menteri Lingkungan Hidup Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup. Jakarta. 2008.

Djanius, Djamin. Pengawasan &Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup: Suatu Analisis Sosial. Jakarta: Yayasan Obor. 2007.

Soerjani, Mohamad. Arif Yuwono, dan Dedi Fardiaz. Lingkungan Hidup (the Living Environment): Pendidikan, Pengelolaan Lingkungan dan Kelangsungan Pembangunan. Jakarta: Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan, 2006.



[1] Mohamad Soerjani, et al, Lingkungan Hidup (the Living Environment): Pendidikan, Pengelolaan Lingkungan dan Kelangsungan Pembangunan (Jakarta: Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan, 2006), p. 142.

[2] Djanius Djamin, Pengawasan &Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup: Suatu Analisis Sosial (Jakarta: Yayasan Obor, 2007), p.309.

[3] Ibid, p. 299.

Pengikut