Senin, 01 Desember 2008

Pencegahan kekeringan dan Kebanjiran di Pulau Jawa

Oleh: Krista Maria
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pulau Jawa luasnya hanya 7% dari seluruh daratan Indonesia namun disesaki oleh 65% penduduk Indonesia. Adanya tekanan populasi yang demikian tinggi terhadap lahan mendesak petani untuk menggarap juga lahan marjinal, antara lain tanah yang miring di tepi sungai, lereng di bukit dan gunung yang curam serta menyerobot lahan kehutanan, sehingga luas hutan terus menurun. Kepadatan penduduk di perkotaan berdampak pada dibangunnya pemukiman dan industri di tempat-tempat yang tidak diperuntukkan untuk perumahan dan industri, seperti di lahan pertanian, bantaran kali dan jalur hijau. Perubahan fisik bantaran sungai di daerah perkotaan mengakibatkan penurunan fungsi jasa hidrologis vegetasi bantaran sungai. Padahal bantaran sungai atau riparian berfungsi sebagai penyaring materi tanah dan air, penahan kecepatan angin, penyerap polutan, dan pengendali iklim mikro.
Perusakan lingkungan di Indonesia terus menunjukkan dampaknya. Setiap tahun, jumlah DAS kritis terus bertambah. Tahun 1980-an hanya ada 22 DAS yang kondisinya kritis, tahun 1990-an meningkat menjadi 36 DAS. Memasuki tahun 2000-an 69 DAS yang rusak, paling banyak di Jawa Tengah (Jateng), Jawa Barat, dan Jawa Timur. Data terbaru Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan, puluhan daerah aliran sungai atau DAS masuk kategori kritis. Sebanyak 60 DAS di seluruh Indonesia masuk katergori super prioritas. Beberapa DAS kritis yang harus diprioritaskan diantaranya beberapa DAS di Jawa, seperti Citarum, Ciliwung, Cisadane, Bengawan Solo, Brantas, dan Kali Progo, selanjutnya DAS Siak dan Way Sekampung di Sumatera, serta DAS Barito di Kalimantan.[1]
Hal tersebut menunjukkan kondisi ke-60 DAS tersebut amat memperihatinkan. Beberapa parameter daerah aliran sungai tersebut berarti di bawah standar, seperti tutupan lahan di sekitar DAS, sedimentasi, kualitas, kuantitas, dan kontuinitas air sepanjang tahunnya.
Kondisi hutan di Pulau Jawa tinggal 4% dari luas pulau Jawa (13.404.500 hektar) sudah sangat jauh di bawah tingkat 30% yang dikatakan sebagai titik keamanan minimum yang harus dipertahankan untuk melestarikan sumber-sumber air dan mencegah erosi. Akibat rusaknya hutan, kemampuan retensi DAS (kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu) menurun. Seluruh air hujan akan dilepaskan DAS ke arah hilir. Selain itu, DAS mudah tererosi oleh air hujan yang mengakibatkan tingkat sedimentasi di DAS sangat tinggi. Sebagai contoh, misalnya DAS Merawu yang luasnya sekitar 678,6 km², tingkat sedimentasinya 2,74 juta kubik per tahun. Tingkat sedimentasi yang tinggi di Merawu dan Serayu dinilai menjadi penyebab utama pendangkalan Waduk Mrica sehingga daya tampung air berkurang dari 143,7 juta m³ menjadi 99,84 juta m³.[2]
Pendangkalan sungai juga dapat diakibatkan oleh akumulasi endapan sampah yang dibuang masyarakat ke sungai. Sampah domestik yang dibuang oleh warga masyarakat terutama di kota-kota besar berakibat terjadinya pendangkalan dan penutupan alur sungai sehingga aliran air tertahan dan mengakibatkan meluapnya air sungai. Berbagai penelitian sungai di Indonesia mencatat bahwa setiap sungai yang melintasi kawasan pemukiman disamping kualitasnya sangat buruk juga kandungan sampahnya tinggi.[3]
Data Pemerintah Daerah Jawa Barat menunjukkan sekitar 11 juta penduduk hidup dan tinggal di sekitar DAS, dengan total lebih dari 1.000 perusahaan beroperasi di sekitarnya. Banyak lahan pertanian berubah menjadi perumahan dan industri yang berkontribusi dalam pengurangan air di daerah tangkapan air.[4]
Kerusakan lingkungan berupa alih fungsi lahan, degradasi dan deforestasi,serta pencemaran pada daerah aliran sungai (DAS) berakibat pada menurunnya kondisi DAS. Hancurnya daya dukung DAS merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan banjir. Faktor penyebab kekeringan sama persis seperti faktor penyebab banjir, Keduanya berperilaku linier-dependent, artinya semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir mendorong terjadinya banjir. Dengan demikian maka rehabilitasi DAS akan berdampak menanggulangi kekeringan dan banjir.

B. Tujuan
Rehabilitasisi daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa bertujuan mengembalikan fungsi DAS sebagaimana seharusnya secara alami sehingga dapat mengatasi kekeringan dan banjir.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber air di bumi
Jumlah air di bumi sebanyak 1,40 juta km3, yang terdiri dari 97,50% berupa air laut, 1,75% berbentuk es, 0,73% berupa air tawar (didaratan:sungai, danau dan air tanah), serta 0,001% dalam bentuk uap air di udara. Sumber utama air tawar di bumi adalah air hujan melalui daur hidrologi (Gambar 1). Proses utama hidrologi meliputi evaporasi/transpirasi (evapotranspirasi), presipitasi, infiltrasi/perkolasi dan aliran permukaan. Air menguap dari permukaan air (sungai/danau/laut) atau dari daratan, atau dari transpirasi dari tumbuhan lalu menjadi awan. Awan terkondensasi dan jatuh sebagai air hujan (presipitasi). Curah hujan yang jatuh sebagian tertahan tajuk tanaman, menguap langsung, atau jatuh ke permukaan tanah, dimana sebagian air terinfiltrasi masuk ke dalam tanah. Sebagian curah hujan akan mengalir di permukaan tanah sebagai aliran permukaan (surface runoff) menuju badan ai

B. Sumber air di Indonesia
Luas wilayah Indonesia adalah 7,50 juta km, dengan komposisi 75,3% lautan dan 24,7% daratan (1,92 juta km). Karena terletak di wilayah tropis, jumlah air hujan dalam setahun terdistribusi 80% berasal dari curah hujan di musim penghujan, dan 20% dari curah hujan di musim kemarau.
Berdasarkan siklus hidrologi, secara umum dapat dikatakan bahwa untuk mencegah kekeringan dan banjir dapat dilakukan dengan menahan air selama mungkin di daratan atau memperbanyak kemungkinan air hujan dapat meresap secara alamiah ke dalam tanah dan dan mengurangi kecepatan aliran air permukaan (runoff).
Tindakan yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan retensi DAS agar air hujan dapat dengan baik diresapkan (retensi) di DAS dan secara perlahan-lahan dialirkan ke sungai. Manfaat langsung peningkatan retensi DAS lainnya adalah bahwa konservasi air di DAS terjaga, muka air tanah stabil, sumber air terpelihara, kebutuhan air untuk tanaman terjamin dan fluktuasi debit sungai dapat stabil. Retensi DAS dapat ditingkatkan dengan cara: program penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan, pedesaan atau kawasan lain, mengaktifkan reservoir-reservoir alamiah, pembuatan resapan-resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau menghindari sejauh mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat berakibat sulitnya air hujan meresap ke tanah.
C. Rehabilitasi DAS di Pulau Jawa.
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisah topografis berupa punggung bukit yang menerima air hujan dan mengalirkannya ke hilir dan bermuara ke laut.
Kondisi DAS di Pulau Jawa telah mengalami kerusakan akibat alih fungsi lahan, degradasi, deforestasi dan pencemaran. Perbaikan kondisi/merehabilitasi DAS dilakukan melalui program penanggulangan masalah-masalah berupa:
1. Alih fungsi lahan
Tindakan yang dapat dilakukan yaitu mencegah dan meminimalisir alih fungsi lahan berupa berubahnya daerah pertanian menjadi pemukiman dan industri . Begitu pula alih fungsi daerah bantaran sungai yang menjadi pemukiman. Untuk itu dibutuhkan tindakan tegas pemerintah pusat dan daerah dalam menegakkan peraturan tentang tata guna lahan. Masyarakat perlu diberi sosialisasi tentang peraturan tata guna lahan dan fungsi bantaran kali sebagai daerah penyangga ekosistem sungai.
2. Degradasi dan deforestasi
Fungsi hutan dalam siklus hidrologis terutama sebagai penyerap air dan mencegah erosi. Dengan demikian hutan akan berfungsi sebagai sumber air.
Kondisi hutan di Jawa tinggal 4% dari luas pulau Jawa sudah sangat jauh di bawah tingkat 30% yang dikatakan sebagai titik keamanan minimum yang harus dipertahankan untuk melestarikan sumber-sumber air dan mencegah erosi. Untuk itu dibutuhkan tindakan penghijauan/reboisasi hingga luasnya mencapai minimal 30% dari luas pulau Jawa. Harus dihindari mengubah hutan alam menjadi hutan monokultur, misalnya hutan pinus untuk kemudian ditebang di daerah lereng.
Selama ini pengelolaan yang dilakukan Perhutani berorientasi pada kayu, tanpa memperhitungkan ekosistem lingkungan. Padahal, nilai kayu hanya mencapai 7 persen dari nilai total ekosistem hutan. Mengabaikan nilai ekosistem yang besar dari sebuah kawasan hutan mengakibatkan terjadinya krisis ekologi.[6]
Pengelolaan DAS telah dilakukan oleh beberapa instansi yang bertanggung jawab seperti Perum Perhutani, Balai Taman Nasional, Dinas Kehutanan Propinsi/Kabupaten/Kota namun masing-masing instansi mempunyai program sendiri-sendiri. Dalam melakukan pengelolaan DAS perlu dilakukan koordinasi antar instansi yang memiliki kawasan pada DAS tersebut agar pelaksanaan program berjalan selaras dengan instansi lainnya, sehingga program berjalan efektif dan efisien.
Program kerjasama swasta- publik perlu dilakukan untuk menanggulangi pendanaan dalam program pengelolaan DAS. Seperti yang dilakukan di Malang, Jawa Timur dalam program pengembangan masyarakat di DAS Brantas. Program kerjasama ini sudah mengadakan sejumlah kegiatan yang diikuti oleh penduduk dua desa. Kegiatan Sekolah Lapangan adalah salah satu di antaranya. Di Tulungrejo, Sekolah Lapangan sudah menghasilkan dua rencana kerja yaitu kegiatan menanam dan pemeliharaan pohon di bantaran Sungai Brantas dan Ndomyong. Di Pandansari Lor, Sekolah Lapangan berfokus pada kegiatan pengelolaan DAS skala mikro termasuk memilih jenis tanaman yang tepat untuk ditanam di bantaran sungai. Penentuan lokasi desa penerima bantuan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi Geographic Information System (GIS) yang mampu mengidentifikasi tingkat kepentingan dan potensi suatu area tanam. Melalui kegiatan ini masyarakat diharapkan memiliki rasa memiliki terhadap tanaman yang sudah ditanam dan giat melakukan perawatan.[7]
Propinsi Jawa Barat melakukan gerakan rehabilitasi lahan kritis yang serentak dilaksanakan di Kota dan Kabupaten se Jawa Barat. Rehabilitasi lahan kritis di Jawa Barat secara menyeluruh difokuskan pada Daerah Aliran Sungai dengan prioritas kawasan rawan bencana seperti banjir, longsor, dan kekeringan.[8]
3. Pencemaran
Mencegah pencemaran sungai dilakukan dengan mencegah pembuangan limbah domestik, pertanian, kehutanan dan industri ke dalam sungai. Pengelolaan DAS yang bersih dari limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dimulai dengan dilancarkannya Gerakan Ciliwung Bersih (GCB) pada 1Juni 1989. GCB dimaksudkan sebagai pusat dan sarana untuk mengkoordinasi gerakan masyarakat tentang kebersihan yang dimulai dari kebersihan sungai. Program lanjutan berikutnya adalah Program Kali Bersih (PROKASIH). Sasaran PROKASIH di delapan provinsi terdiri atas 20 sungai yang diperluas dengan 35 sungai pada tahun 1991. Pada tahun 1995 program ini disebut sebagai Program Proper Prokasih.[9] Pada pelaksanaan tahun 2001 dilakukan inventarisasi seluruh kegiatan yang berpotensi memberikan dampak terhadap air sungai untuk dicarikan solusi pemecahannya. Kegiatan tidak hanya difokuskan kepada sumber pencemar dari satu titik saja seperti biasa dilakukan Prokasih sebelumnya yaitu yang berasal dari kegiatan industri, tetapi juga dari sumber-sumber pencemar lainnya seperti kegiatan domestik, pertanian, kehutanan dan sebagainya.[10]
4. Pendidikan lingkungan, Pengawasan dan Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan hidup.
Agar pengelolaan DAS berhasil baik maka masyarakat harus memahami dan menyadari tentang keterkaitan DAS bagian hulu dan hilir, wilayah air dan ekologi, keterkaitan antara pembuangan limbah dan penurunan kualitas air sungai, keterkaitan banjir dan kekeringan, keterkaitan antara sampah-pendangkalan dan banjir, keterkaitan antara pengambilan air tanah besar-besaran dengan kekeringan dan intrusi air laut, keterkaitan antara penebangan pohon/hutan dengan banjir, longsor dan kekeringan; keterkaitan antara ekosistem sungai dengan kekeringan, banjir dan penurunan kualitas air, serta bagaimana dan dengan cara apa seharusnya mereka berperilaku terhadap air yang ada. Peningkatan pemahaman dilakukan melalui proses pembelajaran sosial yang intensif dan terus-menerus. [11]
Pemerintah telah menerbitkan satu peraturan tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup berupa Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 yang disempurnakan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997. Kesulitan dalam penerapan undang-undang tersebut terjadi karena tingkat kesadaran masyarakat terhadap undang-undang rendah, peraturan belum lengkap, tingkat kemampuan pelaksana undang-undang yang rendah, dan kecilnya anggaran biaya. Untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup diperlukan berbagai ancaman undang-undang yang ditetapkan secara adil. Terhadap pelanggar undang-undang dikenakan membayar ganti rugi, membayar biaya pemulihan, denda, dan ancaman hukuman penjara.[12]

KESIMPULAN

· Kondisi daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa sudah dalam taraf kritis akibat ulah manusia dalam bentuk alih fungsi lahan, degradasi dan deforestasi serta pencemaran oleh limbah industri, domestik, pertanian dan kehutanan.
· Hancurnya daya dukung DAS merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan banjir.
· Rehabilitasi DAS atau meningkatkan retensi DAS dilaksanakan dengan pengelolaan daerah hulu hingga hilir secara terintegrasi, holistik dan berkesinambungan.
· Retensi DAS dapat ditingkatkan dengan cara: program penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan, pedesaan atau kawasan lain, mengaktifkan resrvoir-reservoir alamiah, pembuatan resapan-resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau menghindari sejauh mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat berakibat sulitnya air hujan meresap ke tanah.
· Keberhasilan pengelolaan DAS membutuhkan peningkatan kesadaran masyarakat secara masal terhadap pentingnya DAS melalui proses pembelajaran sosial yang intensif dan terus-menerus dan penegakan hukum pada pengawasan dan pelaksanaan undang-undang lingkungan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Anom, http://timpakul.hijaubiru.org/jawa.html

Anom, http://www.iwr.msu.edu/edmodule/water/cycle.htm

Anom,http://www.kotabogor.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2610&Itemid=648

Anom. Kondisi DAS di Jawa Kritis, Tahun 2010 Krisis Air . 2003.

Anom. Prokasih 2001 sebagai awal prokasih 2005. http://www.bplhdjabar.go.id/emplibrary/Prokasih_2001_awal_%20prokasih_%202005.doc

Anom. WWF Indonesia. http://www.satudunia.net/node/1849

Djanius, Djamin. Pengawasan &Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup: Suatu Analisis Sosial. Jakarta: Yayasan Obor. 2007.

Irianto, Gatot . Kumpulan Pemikiran: Banjir dan Kekeringan – Penyebab , Antisipasi dan solusinya. Bogor: Universal Pustaka Media, 2003.

Maryono, Agus. Menangani banjir, kekeringan dan lingkungan. Yogyakarta: Gajah mada University Press. 2005

Nugroho, Sutopo Purwo, Menguak Kerusakan DAS di Indonesia.

Prabowo, Bintoro W. ESP JAWA TIMUR, http://www.esp.or.id/2008/04/08/menghadang-%20%20%20%20kerusakan-lingkungan-dengan-kerjasama-swasta-publik/

Soerjani, Mohamad. Arif Yuwono dan Dedi Fardiaz. Lingkungan Hidup: Pendidikan Pengelolaan Lingkungan dan Kelangsungan Pembangunan. Jakarta: Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan. 2006.

[1] Anon, 60 DAS di Indonesia Minta Prioritas Penanganan, http://www2.kompas.com/ver1/Iptek/0709/25/082045.htm
[2] Anom, Kondisi DAS di Jawa Kritis, Tahun 2010 Krisis Air ,4- 2003 http://www.inawater.com/news/wmprint.php?ArtID=511

[3] Gatot Irianto, Kumpulan Pemikiran: Banjir dan Kekeringan – Penyebab , Antisipasi dan solusinya (Bogor: Universal Pustaka Media, 2003), p. 9.


[4] Anom, WWF Indonesia, http://www.satudunia.net/node/1849


[5] Anom, http://www.iwr.msu.edu/edmodule/water/cycle.htm

[6] Anom, http://timpakul.hijaubiru.org/jawa.html

[7] Bintoro W. Prabowo, ESP JAWA TIMUR, http://www.esp.or.id/2008/04/08/menghadang-%20%20%20%20kerusakan-lingkungan-dengan-kerjasama-swasta-publik/
[8] Anom, http://www.kotabogor.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2610&Itemid=648

[9] Mohamad Soerjani, Arif Yuwono dan Dedi Fardiaz. Lingkungan Hidup: Pendidikan , Pengelolaan Lingkungan dan Kelangsungan Pembangunan (Jakarta: Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan, 2006), p.199.

[10] Anom, Prokasih 2001 sebagai awal prokasih 2005, http://www.bplhdjabar.go.id/emplibrary/Prokasih_2001_awal_%20prokasih_%202005.doc

[11] Maryono, op. cit,. p 143.
[12] Djanius Djamin, Pengawasan &Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup: Suatu Analisis Sosial (Jakarta: Yayasan Obor, 2007), p.281.

Tidak ada komentar:

Pengikut