Senin, 01 Desember 2008

Pencegahan bullying di sekolah

PENERAPAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN PADA PENCEGAHAN BULLYING DI SEKOLAH

Oleh: Krista Maria

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tewasnya Cliff Muntu, 21, praja tingkat II Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat (Jabar), menambah jumlah calon pamong yang mati tidak wajar. Hingga 2007, mahasiswa IPDN yang tewas akibat penganiayaan berjumlah 38 orang. Dari jumlah itu seorang diantaranya wanita. Namun, pihak IPDN, sebelumnya bernama Sekolah Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), hanya mempublikasikan sebanyak 10 kasus (Media Indonesia, 2007)
Tewasnya beberapa mahasiswa IPDN tersebut dapat dikatakan merupakan puncak gunung es dari berbagai tindak kekersan/bullying yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini terlihat dari makin maraknya berbagai tindak kekerasan oleh pelajar yang terungkap di media masa belakangan ini.
Bullying dalam dunia pendidikan yang sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan itu membuat kita berefleksi tentang kondisi pendidikan kita selama ini. Dibutuhkan analisis terhadap kondisi pendidikan kita selama ini baik tentang kondisi fisik maupun kondisi sosial di sekolah-sekolah untuk mencari tahu penyebabnya.
Para pelajar yang melakukan bullying dapat dipandang sebagai tersangka sekaligus korban. Korban atas berbagai kondisi di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang buruk.
Kondisi lingkungan yang buruk, membuat pelajar merasa tertekan/stress. Disamping itu kebutuhan-kebutuhan khusus yang dialami remaja berkenan dengan perkembangan psikologinya tampaknya belum mendapat perhatian yang cukup baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Dari penelitian yang dilakukan Ratna Juwita (psikolog Universitas Indonesia) di SD, SMP dan SMA di tiga kota besar di Indonesia, sekolah dengan tingkat bullying yang terendah menunjukkan ada kaitan erat antara guru dengan siswanya serta kondisi lingkungan sekolahnya. Tingkat bullying terendah terdapat pada sekolah yang hubungan antara guru dan siswanya sangat baik, sekolahnya kecil dan nyaman, dalam arti hijau, dan anak-anak bebas bermain-main (Kompas Cyber, 2008).

1.2 Permasalahan
Kondisi sekolah-sekolah di Indonesia umumnya berupa kelas-kelas dengan jumlah siswa yang besar dengan halaman sekolah yang sempit, gersang dan tata ruang yang tidak memadai. Tidak jarang pula di jumpai letak sekolah yang bersebelahan dengan pusat keramaian seperti di sebelah terminal, tempat perbelanjaan.dan pinggir jalan yang padat lalu lintas.
Pendidikan di sekolah-sekolah umumnya menitikberatkan pada kecerdasan intelektual dan sistem peringkat. Sistem semacam ini mengajarkan nilai-nilai survival of the fittest, siapa yang kuat dialah yang menang, dan menganggap teman sebagai saingan/musuh (Lie, Anita., 2005).
Kondisi fisik dan sosial sekolah seperti tersebut di atas belum dipahami oleh sebagian praktisi pendidikan sebagai hal yang mempunyai keterkaitan dengan perilaku siswa terutama dalam konteks perilaku bullying. Hal ini terlihat dari tidak adanya perubahan yang dilakukan terhadap kondisi tersebut. Bahkan kecenderungannya makin kian parah, seperti misalnya pendirian sekolah di ruko-ruko atau rumah tinggal demi perhitungan ekonomi/bisnis semata.
1.3 Tujuan
Penerapan psikologi lingkungan dalam kasus bullying di sekolah diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pencegahan tindakan bullying.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Komisi Nasional Perlindungan Anak memberi definisi/pengertian terhadap bullying adalah : kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma / depresi dan tidak berdaya.
Bullying terbagi menjadi 3 bentuk, yaitu:
· fisik (memukul, menampar, memalak atau meminta paksa yang bukan miliknya, pengeroyokan menjadi eksekutor perintah senior);
· verbal (memaki, mengejek, menggosip, membodohkan dan mengkerdilkan);
· psikologis (mengintimdasi, mengecilkan, mengabaikan, mendiskriminasikan).
Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, faktor penyebab bullying antara lain:
· Perilaku feodal (pemaknaan senior / yunior).
· Pubertas pada masa remaja (pencarian jati diri)
· Krisis identitas
· Kekerasan dalam rumah tangga dan sekolah
· Pengawasan perilaku anak yang kurang dari orang tua dan sekolah
· Imitasi dari tontonan media yang mengandung unsur kekerasan, seksualitas/pornografi
· Fanatisme yang berlebihan
· Pendisiplinan dengan kekerasan ( di rumah dan sekolah).
Bullying berdampak menurunkan tes kecerdasan dan kemampuan analisis siswa yang menjadi korban, bahkan sampai berusaha bunuh diri. Bullying juga berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai - nilai akademik dan tindakan bunuh diri.(news. Indosiar ,com)
Menurut Paul A. Bell dan kawan –kawan dalam Sarwono (1995), Psikologi lingkungan adalah ilmu tentang saling hubungan antara tingkah laku dengan lingkungan buatan maupun alamiah.
Definisi yang hampir mirip dkemukakan olah Holahan dalam Sarwono (1995), yaitu Psikologi lingkungan adalah bidang psikologi yang meneliti khusus saling-hubungan antara lingkungan fisik dengan tingkah laku dan pengalaman manusia.
Holahan dalam Hadinugroho (2002) menyatakan bahwa terjadinya proses psikologi manusia yang berhubungan dalam rangka mengatasi atau beradaptasi dengan lingkungan fisik dipengaruhi tiga hal yaitu :
1. Environmental Perception, yaitu proses memahami linkungan fisik melalui input indrawi dari stimuli yang baru saja hadir atau terjadi
2. Envorinmental Cognition, yaitu proses menyimpan , mengorganisasikan mengkonstruksi dan memanggil kembali imaji, ciri-ciri, atau kondisi lingkungan yang sudah ada / terjadi beberapa saat yang lalu.
3. Environmental Attitudes, yaitu rasa suka atau tidak suka terhadap sifat atau ciri, kondisi lingkungan fisiknya.
Ciri-ciri psikologi lingkungan
1. Dalam penelitian psikologi lingkungan, hubungan tingkah laku dan lingkungan adalah satu unit yang dipelajari dalam keadaan saling terkait, tidak berdiri sendiri. Cara pendekatan ini dinamakan cara pendekatan holistic atau disebut juga pendekatan eklektik.
2. Hubungan antara lingkungan dengan manusia dan tingkah lakunya adalah hubungan timbal balik. Jadi saling terkait, saling mempengaruhi.
3. Dalam penelitian-penelitiannya, psikologi lingkungantidak memusatkan perhatian hanya pada masalah teoritis maupun masalah terapan , tetapi titik beratnya selalu pada kedua-duanya.
4. Interdisipliner. Karena ruang lingkup psikologi lingkungan bermacam-macam, dalam penelitiannya ia harus bekerja sama juga dengan bermacam-macam ilmu terkait.
Aliran –aliran dalam psikologi lingkungan
1. Determinisme
Aliran ini berpendapat bahwa setiap perbedaan pada rangsang (stimulus/S) tentu akan mengakibatkan perbedaan pada tingkah laku (respon/R) yang ditimbulkannya.
2. Interaksionisme
Aliran ini berpendapat bahwa setiap perbedaan rangsang (stimulus/S) tentu akan mengakibatkan perbedaan pada tingkah laku (respon/R) yang dipengaruhi oleh faktor organisme (O/organisme). Dalam faktor O itulah terletak proses kognisi seperti motivasi, sikap, minat, emosi dan ratio.
3. Transaksionisme
Menurut transaksionisme, yang penting bukanlah tingkah laku secara umum, melainkan tindakan (action) khusus pada tempat dan waktu yang khusus pula. Tindakan itu berhubungan erat dengan wujud-wujud atau bentuk-bentuk yang ada di lingkungan dan dengan makna yang diberikan oleh orang yang bersangkutan terhadap wujud dan bentuk itu. Makna itu sendiri bergantung pada tujuan orang tersebut.
Teori-teori yang dapat digunakan untuk mencari jawaban terhadap sebagian permasalahan yang timbul dalam psikologi lingkungan antara lain yaitu:
· teori beban lingkungan (The Environment Load Theory),
· teori hambatan perilaku (Behaviour constraints theory),
· teori level adaptasi (Adaptation Level Theory),
· teori stress lingkungan (Environmental Stress Theory),

2.1 Pemecahaan Masalah
Perilaku bullying jika di tinjau dari psikologi lingkungan, merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Perilaku manusia terbentuk selain oleh faktor internal juga dipengaruhi oleh faktor eksternal/lingkungan. Artinya manusia dapat mempengaruhi lingkungan dan lingkungan dapat mempengaruhi manusia (ecological interdepencies). Hal ini tergambar pada teori Medan oleh Kurt Lewin dalam Helmi (1999) dengan formula B= f (E,O). Perilaku/Behaviour (B) merupakan fungsi (f) dari Lingkungan/Environment (E) dan Individu/Organisme (O).
Jika di tinjau dari lingkungannya, yang di persempit menjadi faktor lingkungan sekolah saja, maka kita melihat bahwa kondisi lingkungan sekolah yang dapat mempengaruhi terjadinya bullying dapat berupa lingkungan fisik sekolah dan lingkungan sosial/ psikis sekolah.
Lingkungan fisik sekolah, antara lain berupa:
· Jumlah siswa
· Tata ruang
· Suhu udara
· Pencahayaan
· Kebisingan
· Warna tembok
· Kualitas lingkungan/tingkat polusi
Lingkungan sosial sekolah, antara lain berupa:
· Budaya sekolah
· Interaksi antar siswa
· Interaksi guru-siswa

Teori beban lingkungan (The Environment Load Theory )
Premis dasar teori ini adalah manusia mempunyai kapasitas terbatas dalam pemrosesan informasi. Menurut Cohen, ada 4 asumsi dasar teori ini, yaitu:
Manusia mempunyai kapasitas terbatas dalam pemrosesan informasi.
Ketika stimulus lingkungan melebihi kapasitas pemrosesan informasi, proses perhatian tidak akan dilakukan secara optimal.
Ketika stimulus sedang berlangsung, dibutuhkan proses adaptif. Artinya signifikasi stimulus akan dievaluasi melalui proses pemantauan, dan keputusan dibuat atas dasar respon pengatasan masalah. Jika stimulus merupakan stimulus yang dapat diprediksi dan dapat dikontrol, stimulus tersebut makin mempunyai makna untuk diproses lebih lanjut. Tetapi jika stimulus yang masuk merupakan stimulus yang tidak dapat diprediksi atau dikontrol, perhatian kecil atau mungkin pengabaian perhatian akan dilakukan. Akibatnya, pemrosesan informasi tidak akan berlangsung.
Jumlah perhatian yang diberikan seseorang tidak konstan sepanjang waktu tapi sesuai kebutuhan.
Jika stimulus terlalu sedikit (understimulation), maka siswa akan mengalami devripasi sensori. Devripasi sensori ini menghambat perkembangan secara optimal. Hal ini tampak sekali dalam perkembangan siswa, jika kurang mendapatkan stimulasi maka perkembangan psikologisnya akan terhambat.
Jika stimulus berupa suasana dan proses belajar bersifat monoton, materi belajar terlalu sedikit dan kurang menarik maka siswa akan merasa bosan. Sebaliknya jika stimulus lingkungan lebih besar dari kapasitas pengolahan informasi, misalnya suasana kelas ribut/bising akan mengganggu komunikasi dalam kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Cohen dan Weinstein dalam Russel dan Daniel (1995), bahwa kebisingan mempengaruhi komunikasi dalam kelas dalam bentuk kegagalan siswa memahami instruksi sehingga mempengaruhi pretasinya.
Terlalu banyak tugas yang diberikan guru, materi pelajaran terlalu sulit juga akan membuat siswa merasa tertekan, bosan dan tidak berdaya. Adanya perasaan bosan, tertekan dan lain sebagainya akan mendorong siswa melakukan tindakan-tindakan yang merugikan , misalnya mengganggu teman yang berujung pada bullying
Dari pernyataan teori di atas, maka penciptaan suasana belajar dan proses belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan sesuai dengan kondisi tumbuh kembang siswa merupakan suatu hal penting. Hal ini dapat disiasati antara lain, dengan model belajar yang bervariasi. Adanya pergantian suasana kelas, akan membuat suasana belajar tidak monoton dan dapat meningkatkan motivasi dan kemampuan belajar siswa.

Teori hambatan perilaku (Behaviour constraints theory)
Premis dasar teori ini adalah stimulus yang berlebihan atau tidak diinginkan, mendorong terjadinya hambatan dalam kapasitas pemrosesan informasi. Akibatnya, orang merasa kehilangan kontrol pada situasi yang sedang berlangsung. Perasaan kehilangan kontrol merupakan langkah awal dari teori kendala prilaku.
Istilah “hambatan” berarti ada “sesuatu” dari lingkungan yang membatasi apa yang menjadi harapan. Hambatan dapat muncul, baik secara aktual dari lingkungan ataupun interpretasi kognitif.
Menurut Averill dalam Helmi (1999), terdapat beberapa tipe kontrol terhadap lingkungan, yaitu kontrol perilaku, kontrol kognitif dan kontrol lingkungan.
Kontrol lingkungan mengarahkan perilaku untuk mengubah lingkungan, misalnya pada lingkungan sekolah yang bising dengan mengurangi suasana bising di kelas /sekolah, membuat pagar hidup untuk membuat suasana kelas/sekolah bernuansa ramah lingkungan. Adanya suasana yang nyaman tentu membangkitkan motivasi belajar dan kreativitas siswa dan menghindarkan siswa dari perbuatan agresiv.
Kontrol kognitif dilakukan dengan mengubah interpretasi situasi yang mengancam menjadi situasi yang menantang. Guru ditantang bagaimana mengubah interpretasi siswa dalam menghadapi suasana kelas yang tidak nyaman itu menjadi tantangan bagi siswa untuk lebih termotivasi belajar. Guru menanamkan pemahaman akan tugas siswa sebagai pelajar adalah belajar sungguh-sungguh bukan menjadi preman di sekolah.
Kontrol keputusan dilakukan dengan memberikan alternative pilihan yang ditawarkan. Dengan semakin besar kontrol yang diberikan akan lebih memudahkan proses adaptasi siswa.Misalnya siswa diberi alternativ pilihan untuk belajar dengan model pembelajaran yang mereka sukai, dengan tata kelas yang mereka atur sendiri dibawah bimbingan guru, dan sebagainya.
Teori stress lingkungan (Environment Stress Theory)
Teori stress lingkungan pada dasarnya merupakan penerapan teori stress dalam lingkungan. Berdasarkan model input – process - output, maka ada 3 pendekatan dalam stress yaitu stress sebagai input, stress sebagai process dan stress sebagai output. Oleh karenanya stress terdiri dari 3 komponen, yaitu stressor, process dan output. Stressor merupakan stimulus yang mengancam kesejahteraan seseorang, misalnya kepadatan tinggi, bising, polusi, panas, dan lain sebagainya. Respon stress adalah reaksi yang melibatkan komponen emosional, pikiran, fisiologis dan perilaku. Proses adalah transaksi antara sumber stress dengan kapasitas diri untuk menentukan reaksi stress. Jika sumber stress lebih besar dari kapasitas diri maka terjadi stress negatip, sebaliknya jika tekanan/stress lebih kecil atau sama dengan kapasitas diri maka terjadi stress positip. Dalam kaitannya dengan stress lingkungan, maka terjadi transaksi antara karakteristik lingkungan dengan karakteristik individu yang menentukan apakah tekanan tersebut menimbulkan stress atau tidak.
Suara bising, bagi kebanyakan siswa akan mengurangi motivasi belajar tapi bagi siswa yang biasa tinggal di daerah pinggiran jalur kereta api yang padat.tidak menurunkan motivasi belajar.Jumlah murid yang besar di dalam kelas yang sempit dan tidak tertata baik dapat menimbulkan kesesakan, suhu udara menjadi lebih panas, dan bising. Hal ini menimbulkan perasaan tidak nyaman. Ketidak adanya kenyamanan dalam kelas/sekolah membuat siswa kehilangan motivasi belajar dan kreativitas sekaligus juga meningkatkan agresivitas. Kelas-kelas di sekolah dengan jumlah murid yang besar berpotensi menumbuhkan suasana bullying dibanding sekolah dengan jumlah murid terbatas.Untuk menghindari bullying antara lain adalah:· mempertimbangkan rasio ideal antara jumlah murid dan guru. Ini agar guru dan murid bisa saling mengidentifikasi diri dan pihak sekolah bisa mengawasi tingkah laku setiap murid. · membuat halaman kelas yang teduh oleh pepohonan yang rindang agar suhu udara di sekolah terasa nyaman. · mengurangi kebisingan di kelas dan lingkungan sekolah dengan cara pendisiplinan dan membuat tulisan/poster berisi ajakan untuk menghormati teman yang sedang belajar, membuat pagar hidup dari pepohonan bambu di sekeliling pagar sekolah yang dapat meredam suara dari luar lingkungan sekolah, dan lain sebagainya.· Memberikan ruang bermain yang memadai untuk siswa saat jam istirahat sekolah.· Meningkatkan keakraban antar siswa dan siswa dengan guru, dengan berbagai kegiatan keakraban. Hubungan yang harmonis akan membuat warga sekolah merasa aman dan nyaman di sekolah.
Teori level adaptasi (Adaptation Level Theory)
Teori ini pada dasarnya sama dengan teori beban lingkungan. Menurut teori ini, stimulasi level yang rendah maupun yang tinggi memberikan pengaruh negativ pada perilaku.
Adaptasi dilakukan ketika terjadi suatu disonansi pada suatu sistem, artinya terjadi ketidak seimbangan antara interaksi manusia dengan lingkungan, tuntutan lingkungan yang berlebih atau kebutuhan yang tidak sesuai dengan situasi lingkungan.
Tradisi menjelang ajaran baru di sekolah-sekolah adalah menyelenggarakan MOS (masa orientasi siswa) bagi siswa barunya. Siswa baru dituntut dapat menyesuaikan diri dengan sekolah barunya, dengan cara mentaati peraturan dan budaya kelas/sekolah. Pada saat MOS sering kali praktik-praktik kekerasan dan bullying dialami siswa baru yang dilakukan oleh kakak kelasnya. Hal tersebut dapat menjadi benih-benih dendam di antara junior dan seniornya, sehingga akan berujung pada tindakan kekerasan. Adanya peraturan dan budaya sekolah yang mengutamakan kasih sayang, mencintai sesamanya dan seluruh peri kehidupan serta pemberian teladan oleh para guru tentunya akan memudahkan siswa untuk beradaptasi sesuai tuntutan tersebut. Sebaliknya peraturan dan budaya sekolah yang mengutamakan kedisiplinan dengan kekerasan akan membuat siswa stress dan lebih sulit beradaptasi.

BAB III
KESIMPULAN

Hubungan manusia dengan lingkungan adalah hubungan yang dinamis. Perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh lingkungan atau sebaliknya, melainkan kedua hal ini salingmempengaruhi dan tak dapat dipisahkan (ecological interdependencies). Begitu pula hubungan prilaku bullying dengan lingkungan sekolah.
Untuk dapat lebih memahami prilaku bullying dalam konteks lingkungan sekolah tidak cukup dengan teori- teori psikologi lingkungan saja tetapi juga teori-teori dari disiplin pendidikan, arsitektur, kesehatan, lingkungan dan lain sebagainya. Disamping itu diperlukan juga pemahaman tentang pola karakteristik siswa dan karakteristik lingkungan sekolah serta interdependensi keduanya.
Tindakan pencegahan bullying di sekolah dilakukan dengan membuat siswa merasa nyaman di sekolah. Rasa nyaman diciptakan dengan membuat lingkungan fisik sekolah nyaman dan lingkungan sosial sekolah yang harmonis.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. http://www.kompas.com/read/xml/2008/05/17/15351630/

Anonim. 2007. http://www.media-indonesia,com/berita.asp?id=129327

Hadinugroho, Dwi Lindiarto. 2002. PENGARUH LINGKUNGAN FISIK PADA PERILAKU: SUATU TINJAUAN ARSITEKTURAL. Medan: USU digital library.

Helmi, Avin Fadilla. 1999. Beberapa Teori Psikologi Lingkungan. Buletin Psikologi, Tahun ke VII, No 2.

Lie, Anita. 2005.Cooperative Learning. Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.

Russell Veith and Daniel Arkkelin. 1995. Environmental Psychology: an interdisciplinary perspective. New Jersey: Prentice-Hall,Inc.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo.N

Tidak ada komentar:

Pengikut