Senin, 01 Desember 2008

Kebisingan di Perkotaan dari Aspek Psikologi Lingkungan

KEBISINGAN DI PERKOTAAN DARI ASPEK PSIKOLOGI LINGKUNGAN
Oleh: Krista Maria

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada waktu Aristoteles dilahirkan (383 tahun sebelum Masehi) jumlah penduduk dunia diperkirakan baru sekitar 200 juta jiwa. Diperlukan waktu selama 2000 tahun (tahun 1650) untuk mencapai 500 juta. Sekitar 150 tahun setelah itu yaitu pada tahun1830 jumlah penduduk dunia sudah menjadi dua kali lipat, dan hanya dalam waktu 100 tahun berikutnya (tahun1930) angka itu mencapai 2 milyar. Sekarang atau 65 tahun kemudian penduduk dunia talah mencapai 6 milyar, dan pada tahun 2100 diproyeksikan jumlahnya akan menjadi 12 milyar.1
Terdapat kecenderungan kuat bahwa penduduk dunia akan terkonsentrasi (sekitar 50 %) di kota-kota mega (megacities) yang berpenduduk sekitar 15-20 juta jiwa.2
Tingginya pertambahan penduduk dunia dan terkonsentrasinya sebagian besar penduduk dunia di perkotaan berimplikasi pada peningkatan aktivitas manusia di perkotaan dan peningkatan pembangunan berbagai sarana dan prasarana untuk pemenuhan kebutuhan manusia.
Aktivitas manusia di perkotaan berlangsung 24 jam sehari dalam berbagai bentuk. Contohnya: aktivitas lalu lintas, pembangunan fisik berbagai sarana dan prasarana, pasar, hiburan, dan lain sebagainya. Semua aktivitas tersebut memberikan dampak bagi lingkungan perkotaan berupa polusi suara.
Polusi suara dalam bentuk kebisingan seperti suara mesin mobil, pabrik, alat musik, suara manusia lewat loudspeaker, dan alat-alat berat dapat menimbulkan ketidaknyamanan yang berujung pada timbulnya berbagai gangguan fisik dan mental.

________________
1 Johan S. Masjhur, Manusia, Kesehatan, dan Lingkungan, ed. Kusdwirartri Setiono, Anna Alisyahbana (Bandung: Penerbit Alumni, 1998), p.1.

2 Ibid, p.1.

B. Tujuan
Pendekatan psikologi lingkungan pada kebisingan bertujuan menganalisis, menjelaskan, meramalkan dan bila perlu mempengaruhi atau merekayasa hubungan antara tingkah laku manusia dengan lingkungannya (kebisingan) untuk kepentingan manusia dan kepentingan lingkungan itu sendiri.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Bising adalah suara-suara yang tidak dikehendaki (mengganggu).1
Kebisingan atau bising dapat juga diartikan sebagai adanya gangguan suara yang tidak sesuai dengan tempat dan waktunya.2
Karena bising itu tidak dikehendaki/mengganggu, maka sifatnya adalah subjektif (tergantung pada masing-masing individu) dan bersifat psikologik (penimbul stress).Selama suara itu tidak dirasakan mengganggu disebutnya adalah bunyi (voice).

B. Aspek Fisiologik
Aspek fisik bunyi
Bunyi datang dari lingkungan berupa gelombang-gelombang suara. Gelombang-gelombang suara ini dapat diukur frekuensinya (siklus per detik) dengan satuan ukur cps (cyclus per second) atau Hz (Hertz). Tinggi rendahnya Hz dinamakan pitch. Pada telinga manusia, Hz yang tinggi (suara tinggi) disebut sopran, dan Hz yang rendah (suara rendah) disebut bas
Tinggi rendahnya gelombang suara (amplitudo) diukur dengan microbars. Tinggi rendahnya microbars menentukan kesan keras dan lemahnya bunyi (volume).
Telinga manusia umumnya peka terhadap suara antara 20 – 20.000 Hz dan 0,0002 – 1.000 microbars. Suara dengan volume 1,000 microbars akan menimbulkan rasa sakit pada telinga daripada kesan bunyi.
_______________
1 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Lingkungan (Jakarta: Grasindo, 1992), p. 92.

2 Karden Eddy Sontang Manik, Pengelolaan Lingkungan Hidup (Jakarta: Djambatan, 2007), p. 171.

Aspek fisiologis (ilmu faal) bunyi
Secara fisiologi (ilmu faal), gelombang suara diterangkan sebagai proses penginderaan bunyi oleh telinga. Anatomi telinga manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar (outer ear), tengah (middle ear) dan dalam (inner ear) .
Suara dari lingkungan akan diterima daun telinga dan liang telinga yang merupakan bagian telinga luar. Selanjutnya gelombang suara akan menggetarkan gendang telinga (membran timpani) yang merupakan selaput tipis dan transparan. Kemudian getaran suara mulai memasuki telinga tengah yang antara lain berisi 3 buah tulang pendengaran (maleus – incus – stapes). Sebagian maleus melekat pada sisi dalam gendang dan akan bergerak bila gendang telinga bergetar. Stapes berhubungan dengan selaput oval window (bagian telinga dalam). Karena ketiga tulang pendengaran saling bersendi satu sama lain, maka akan menjembatani getaran dari gendang telinga, memperkeras dan menyampaikannya ke telinga dalam.
Kohlea yang memiliki struktur pipa 2 1/2 lingkaran dan menyerupai rumah siput merupakan bagian dari telinga dalam. Kohlea berisi cairan elektrolit. Pergerakan tulang tulang pendengaran akan menggetarkan selaput oval window , yang akan menyebabkan terjadinya aliran cairan kohlea. Aliran tersebut akan menggerakkan sel sel rambut halus yang melekat pada saluran kohlea, pada saat inilah terjadi perubahan gelombang suara menjadi gelombang listrik. Potensial listrik yang timbul akan diteruskan ke pusat pendengaran di otak (lobus temporalis) melalui saraf pendengaran. 4
Tahap terakhir proses pendengaran adalah persepsi tentang bunyi, dimana manusia menginterpretasikan bunyi yang ditangkapnya.

C. Aspek Psikologik
Ada 3 faktor yang menyebabkan sebuah suara secara psikologik dianggap sebagai bising, yaitu volume (dB atau phone), perkiraan, dan pengendalian.
Makin tinggi volume suara akan dirasakan makin mengganggu. Gangguan terjadi pada efektivitas komunikasi interpersonal. Contohnya: Jika seseorang sedang berbicara dengan orang lain, gangguan bising menyebabkan suara lawan bicaranya tidak dapat ditanggap dengan jelas sehingga menimbulkan stress.
Kalau suara bising itu dapat diperkirakan datangnya atau berbunyi secara teratur maka gangguan yang ditimbulkan akan lebih kecil dibanding jika suara itu datang tiba-tiba /tidak dapat diperkirakan dan berbunyi tidak teratur. Contohnya suara kereta api, tidak dirasakan mengganggu karena dapat diperkirakan. Sebaliknya suara yang terdengar tanpa diperkirakan sebelumnya (misalnya suara petasan) akan terasa mengganggu.
Faktor pengendalian erat hubungannya dengan perkiraan. Contohnya jika kita membunyikan kaset musik keras-keras, kita tidak merasa terganggu karena dapat mengendalikan (membunyikan atau mematikan sumber bunyi tersebut). Tetapi bagi tetangga kita akan terasa mengganggu karena ia tidak bisa mengendalikan suara musik tersebut.
TIdak ada kendali pada kebisingan menimbulkan stress yang jika berlangsung lama pada akhirnya bisa menimbulkan reaksi learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari). Artinya. Orang menjadi tidak berdaya dan membiarkan saja bising itu walaupun stressnya bertambah besar.
D. Jenis dan Sumber Bising
Jenis bising dikelompokkan menjadi:
(1) Bising yang kontinu (steady noise). Jenis bising ini mempunyai tingkat tekanan suara yang relative sama selama terjadinya bising. Contoh penyebab bising ini adalah air terjun, mesin pembangkit tenaga listrik, mesin industri, dan lain-lain.
(2) Bising yang tidak terus-menerus. Jenis bising ini mempunyai tingkat tekanan suara yang berbeda-beda selama bising berlangsung. Contoh penyebab bising ini adalah lalu lintas kendaraan bermotor (dari jarak dekat), suara senjata, pesawat terbang sedang lewat dan sebagainya.
Sumber bising ada dua, yaitu:
(1) Berbentuk titik. Bising yang keluar dari sumber berbentuk titik akan menyebar melalui udara dengan kecepatan suara (1.100 feet/detik) dan penyebarannya berbentuk lingkaran. Sumber berbentuk titik antara lain mobil yang berhenti dan mesinnya dihidupkan, mesin pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain.
(2) Berbentuk garis. Bising yang keluar dari sumber berbentuk garis akan menyebar melalui udara dengan penyebaran suaranya tidak berbentuk lingkaran, tetapi berbentuk silinder yang memanjang. Contoh sumber bising ini adalah bising yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor yang sedang bergerak (jalan).
C. Dampak Bising
Dampak dari kebisingan secara fisiologik adalah terganggunya alat pendengaran. Gangguan ini bisa bersifat sementara atau menetap.
Apabila tingkat kebisingan melampaui batas toleransi manusia (individu), dampaknya dapat berupa:
(1) Pendengaran berkurang. Pendengaran berkurang berarti berkurangnya kemampuan mendengar disbanding dengan pendengaran manusia normal. Perubahan pendengaran karena bising ada dua tingkatan:
(a) Pendengaran yang berkurang untuk sementara (temporary Threshold shift). Seseorang yang mengalami bising dari suara yang keras dalam waktu yang pendek, pendengarannya akan terganggu untuk sementara. Pendengaran yang berkurang untuk sementara meningkat secara linier, jika terjadi tingkat bising antara 80-130 dB dan peningkatan tersebut sebanding dengan lamanya terkena bising.
(b) Pendengaran yang berkurang secara permanent (noise induced permanent threshold sfhift). Keadaan ini dapat terjadi bila seseorang mengalami kebisingan yang keras dalam waktu yang lama. Contoh:
· Selama beberapa tahun terkena kebisingan selama 8 jam sehari dengan tingkat kebisingan lebih besar dari 105 dB;
· Pada tingkat kebisingan 80-95 dB, sebanyak 50% dari jumlah yang mengalaminya akan tuli;
· Tingkat kebisingan sedang yang terus-menerus tidak akan mengakibatkan kekebalan pada pendengaran.
(2) Gangguan komunikasi. Dengan adanya kebisingan, pembicaraan harus dilakukan lebih kuat. Seseorang yang sedang menerima telepon misalnya, akan
terganggu pembicaraannya (salah menerima pesan), jika pembicaraan dilakukan saat terjadi kebisingan.
(3) Gangguan pada konsentrasi dan daya kerja. Konsentrasi dan daya kerja dapat terganggu dengan adanya kebisingan. Akibat selanjutnya, pekerjaan tidak dapat diselesaikan tepat waktu atau salah. Berdasarkan hukum Yarkes dan Dodson dijelaskan bahwa peningkatan kebisingan pada jenis tugas yang sederhana bisa meningkatkan prestasi kerja, tetapi makin majemuk sifat tugas tersebut makin besar kecendrungannya bahwa prestasi kerja justru akan turun. (4) Gangguan pada ketenangan masyarakat. Ketenangan atau kenyamanan masyarakat dapat terganggu jika terdapat sumber bising di sekitarnya. Misalnya, adanya pabrik, terminal, lapangan terbang, dan lain-lain.
(5) Gangguan tidur. Seseorang akan terganggu tidurnya atau dapat terbangun dari tidurnya oleh adanya kebisingan.
Akibat kebisingan terhadap kesehatan fisik secara umum dapat meningkatkan tekanan darah, gangguan pencernaan, dan sebagainya. Akibat kebisingan pada kesehatan mental yaitu dapt menimbulkan sakit kepala, rasa mual, bahkan impotensia seksual.
Dalam hal tingkah laku sosial, dilingkungan bising jarak personal space lebih lebar daripada di tempat yang tidak bising. Juga hubungan informal antar tetangga makin berkurang jika suara lalulintas di sekitar tempat pemukiman meningkat. Kebisingan juga bersifat meningkatkan agresivitas manusia.
D. Cara Mengurangi Kebisingan
Pemecahan masalah kebisingan membutuhkan perubahan atau modifikasi pada beberapa atau keseluruhan dari ketiga elemen dasar berikut ini:
1. Modifikasi sumber bunyi untuk mengurangi tingkat kebisingan.
2. Mengontrol jalur transmisi dan lingkungan untuk mengurangi tingkat kebisingan mencapai pendengarnya.
3. Menyediakan peralatan perlindungan pribadi bagi penerima kebisingan.Stephen Konz (1973) menyarankan beberapa cara mengurangi kebisingan di tempat kerja berupa empat prosedur penangangan dasar, yaitu:
1. Melakukan perencanaan: memilih menggunakan peralatan yang lebih tidak menimbulkan suara bising.
2. Memodifikasi sumber kebisingan: mengencangkan baut-baut pada mesin, meminyaki peralatan mesin/motor penggerak.
3. Memodifikasi gelombang suara: menggunakan perlatan khusus, seperti headphone, dll.
4. Perlindungan pribadi: mengurangi paparan kebisingan, menggunakan alat penutup/pelindung telinga.




KESIMPULAN

· Kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki/mengganggu.
· Kebisingan bersifat subjektif (tergantung individunya) dan bersifat psikologik (penimbul stress).
· Pertambahan penduduk di perkotaan meningkatkan aktivitas manusia yang berakibat pada peningkatan kebisingan.
· Kebisingan di perkotaan merupakan hasil aktivitas manusia (antroposentris)
· Kebisingan di perkotaan mempengaruhi pola hubungan antar individu (makin melebarnya personal space) dan berkurangnya hubungan sosial antar tetangga.
· Dampak kebisingan bersifat fisiologik berupa berkurang atau hilangnya kemampuan pendengaran, gangguan kesehatan (tekanan darah, gangguan pencernaan) dan bersifat psikologik (pemarah, agresif).
· Pemecahan masalah kebisingan dilakukan dengan memodifikasi sumber kebisingan, mengontrol jalur transmisi dan lingkungan kebisingan serta penggunaan alat penutup/pelindung telinga.
· Hubungan kebisingan dan perilaku manusia perlu dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat terutama di perkotaan agar dapat dilakukan pencegahan dan penanggulangan kebisingan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, htt://www.geocities.com/HotSprings/Spa/9987/info.htm
Davis, Mackenzie L and Susan J. Masten, Principles of Environmental Engineering and Science. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2004.

Masjhur, Johan S. Manusia, Kesehatan, dan Lingkungan, ed. Kusdwirartri Setiono, Anna Alisyahbana. Bandung: Penerbit Alumni.1998.

Manik, Karden Eddy Sontang. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta:Djambatan. 2007.

Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo. 1992.

Veitch, Russell and Daniel Arkkelin. Environmental psychology: an interdisciplinary perspective. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 1995.

Tidak ada komentar:

Pengikut